Kucing Tiongkok yang Kini Berubah menjadi Singa
Berakit-rakit dahulu,
berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Pepetah ini datang dari Indonesia, tetapi justru Tiongkok
lah yang berhasil mempraktikannya.
1 Oktober
1949, Mao Zedong memproklamirkan berdirinya sebuah Republik baru bernama
Republik Rakyat Tiongkok. Kemenangan Mao bersama Partai Komunis Tiongkok (Kuncantang)
atas Chiang Kai Sek bersama partai Nasional Tiongkok (Kuomintang)
menjadi awal dari suatu era baru Tiongkok dibawah Komunis.
Mao yang
menjadi penguasa tunggal atas Tiongkok sejak saat itu kemudian melakukan
beragam kebijakan bernuansa Sosialistik guna mewujudkan masyarakat Komunis
Tiongkok sebagai implementasi ajaran Marx-Lenin-Stallin. Sintesa dari ajaran
ketiga tokoh tersebut kemudian disesuaikan dengan karakter Tiongkok yang
berbasis pertanian dibawah ajaran baru bernama Maoisme yang tertulis lengkap
dalam sebuah buku bertajuk Mao’s Little Red Book.
Diantara
sekian banyak kebijakan Mao selama memimpin Tiongkok antara Dasawarsa 1950
hingga 1970-an, Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward) dan Revolusi
Kebudayaan merupakan kebijakan paling buruk yang pernah ia lakukan. Akibat dua
kebijakan ini puluhan juta rakyat Tiongkok tewas sebagai korban. Sisanya yang
jauh lebih banyak lagi, terperangkap dalam kemiskinan akut. Bagaimana tidak,
melalui Lompatan Jauh Ke Depan, Mao memobilisasi ratusan juta rakyat Tiongkok
meninggalkan pekerjaan semula sebagai petani, guru, nelayan, dan lain
sebagainya untuk kemudian digiring masuk secara paksa ke dalam industri baja.
Selain itu, Revolusi Kebudayaan juga menghasilkan dampak yang kurang lebih sama
, sebab sejumlah orang yang dianggap bertentangan dengan garis kebijakan dan
pola hidup yang telah ditetapkan secara ketat dalam Mao’s Little Red Book,
secara sistematis disingkirkan dan dieksekusi mati oleh Garda Depan Partai Komunis, suatu
kelompok khusus yang dibentuk oleh Mao guna melancarkan semua rencananya.
Tahun demi
tahun berganti. Tapi Tiongkok masihlah Tiongkok yang miskin, terasing dan
dimusuhi sejumlah negara. Hingga angin perubahan pun datang pada 1976. Paman
Mao, pria kontroversial yang sejak muda kukuh pada jalan Sosialismenya,
meninggal. Tampuk kekuasaan di Tiongkok pun beralih. Meski mengalami masa sela
ketika dipimpin orang lain, seorang pembaharu bernama Deng Xiaoping akhirnya
tampil sebagai pucuk pimpinan tertinggi.
Deng yang
pada masa Mao sempat menerima sanksi akibat dinilai Revisionis, kali ini tak
menemui kerikil dalam menjalankan visinya tentang Tiongkok baru yang lebih
terbuka, sebagaimana yang dulu dialami ketika Mao masih berkuasa. Dengan
dukungan penuh dari segenap rakyat yang bosan miskin di bawah Mao, terutama
kalangan terpelajar Tiongkok yang di kemudian hari memotori Peristiwa Tiananmen
1989, perlahan tapi pasti Deng membawa Tiongkok bangkit.
Bila Mao bersikeras menolak investasi asing, terutama dari
Amerika Serikat, Deng justru menerimanya. Namun demikian, dalam ranah politik,
tak ada satu hal pun yang berubah. Semua hal tetap dikelola secara sentralistik
oleh Partai Komunis Tiongkok, tanpa kompromi sedikit pun atas itu. Alhasil,
Tiongkok mengalami industrialisasi sebagai implikasi dari politik Pintu
Terbuka. Namun di ranah sosial-politik, tetap tak ada demokrasi di sana. Apakah ini jelek? Entahlah. Satu hal yang
pasti hanyalah bahwa sejak dekade ’80-an pasca Deng, para penerusnya hingga
kini seperti Jian Zemin, Hu Jintao hingga Xi Jinping, secara konsisten
menikmati pertumbuhan ekonomi di atas 10% per tahun.
Tiongkok
kini sama sekali berbeda dengan Tiongkok yang miskin di era Mao. Mereka bukan
saja mampu bangkit dari keterpurukan, melainkan lebih dari itu, yakni menjadi
kompetitor atas kekuatan ekonomi yang telah lama mapan sejak berakhirnya Perang
Dunia II, Amerika Serikat.
Apakah ini murni hasil upaya Deng? Tentu tidak. Hal unik
justru terjadi di sini, yakni bahwa Amerika telah menjadi pihak yang memiliki
sumbangsih besar atas kebangkitan ‘kucing’ Tiongkok yang kini telah berubah
menjadi ‘Singa’ yang siap menerkamnya.
Adapun sumbangsih yang dimaksud, tak lebih dan tak kurang adalah
kebijakan Pivot to Asia yang Amerika Serikat lancarkan sejak era Ronald
Reagen. Kebijakan ini merupakan bagian dari ambisi besar Amerika Serikat dalam
membangun Rantai Pasok Global (Global Supply Chain), dimana produksi
suatu barang dan jasa dari berbagai perusahaan mancanegara milik para pengusaha
Amerika dan Eropa, utamanya yang bersifat padat karya dan cenderung merusak
lingkungan, diupayakan agar dipindah dari tempat asalnya menuju tempat lain
yang lebih efisien bagi upaya produksi karena lebih dekat jaraknya dengan
sumber bahan baku dan pangsa pasar. Dalam hal ini, Tiongkok baru yang terbuka
pada investasi asing di bawah Deng dan para penerusnya, merupakan mitra
strategis.
Akan tetapi, kemesraan itu tak berlangsung seterusnya.
Krisis Ekonomi bertajuk Sub-Prime Mortgage yang mengguncang Amerika pada
2008, yang kemudian berimplikasi pada defisit neraca dagang Amerika terhadap
Tiongkok, atau dengan kata lain lebih banyak impor dibanding ekspor, menjadi
alasan terpenting atas terpilihnya seorang Presiden baru Amerika bernama Donald
Trump pada 2016 dengan slogan nasionalistiknya: Make America Great Again
(MAGA).
Muak dengan kemunculan Rising Power bernama Tiongkok,
Trump yang memimpin Establish Power bernama Amerika kemudian melancarkan
serangan balik: Perang Dagang (Trade War) melawan Tiongkok.
Beragam upaya meredam kekuatan Tiongkok dilakukan oleh Trump, baik berupa
penerapan Bea Masuk maupun penetapan regulasi yang mempersulit masuknya produk
Tiongkok ke Amerika. Geram dengan itu, Xi Jinping membalasnya dengan langkah
serupa.
Alhasil, dunia gonjang-ganjing akibat perseteruan dua
kekuatan besar ini.
Tanpa kepastian, Perang Dagang terus berlanjut entah sampai kapan. Tapi satu yang pasti, Tiongkok telah membuktikan bahwa Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian adalah benar adanya!
Penulis:
Rimba Fauzan Adzima
Mantap, Min. Perubahannya menjadi singa juga tak lepas dari kemudi rakit yang sesuai dengan penumpang rakit juga Yaa🥳
BalasHapus