CERITA BARCA BAGI PARA DE CULES PEMULA
Bahkan sebelum mengubah lanskap sepak bola dengan menciptakan Tiki-Taka, FC Barcelona telah dikenal sebagai sebuah klub fenomenal. Selama sejarah panjangnya yang sukses, mereka telah memenangkan banyak gelar, mulai dari La Liga , Copa del Rey, Liga Champions hingga Piala Winners. Sebagai salah satu klub terkaya dan terpopuler di dunia, mereka mampu dimiliki dan dibiayai secara eksklusif oleh pendukung mereka sendiri, para Socios yang tergabung dalam sebuah koperasi. Sejak awal, Barcelona telah menjadi simbol Katalunya, lengkap dengan budayanya, sebagaimana tercermin dalam motto mereka, Mes Que un Club : Lebih dari sekedar klub.
AWAL MULA
1898, seorang pria asal Swis datang ke Katalunya
dalam rangka membantu bisnis pamannya. Negeri yang ia singgahi telah sangat
lama memendam bara dendam terhadap Spanyol dalam rentang sejarah yang penuh
dengan konfrontasi selama berabad-abad. Kawasan otonom yang terdiri dari
Provinsi Barcelona, Girona, Lleida dan Tarragona itu tak pernah merasa menjadi
bagian dari Spanyol, karena memiliki kultur yang jelas-jelas berlainan
dengannya.
Suatu ketika, dalam jalan-jalannya di negeri yang
berbatasan langsung dengan Perancis itu, secara tak sengaja, ia yang bernama
lengkap Hans-Mark Kamper berpapasan dengan sekelompok pemuda yang sedang asyik
bermain bola di suatu kawasan bernama Sarria. Lantas, sebagai mantan punggawa
Zurich dan Basel, naluri persepakbolaannya mengemuka seketika.
Setahun kemudian pada 22 Oktober 1899, pria yang
lebih dikenal sebagai Joan Gamper itu berbulat hati ingin membentuk klub sepak
bola. Setelah sepuluh orang yang terdiri dari
Otto Kunzle (Swiss), Walter Wild, John and William Brothers (Inggris),
Cares Pujol, Eric Ducal, Luis d’Osso, Pere Cabot, Josep Lobet serta Bartomeu
Terradas (Spanyol) merespon iklannya yang
pasang di surat kabar La Deportes,
mimpi itu pun jadi nyata. Maka lahirlah : Barcelona, di suatu tempat bernama
Sole Gymnasium pada 22 November 1899, dengan Gamper selaku parde fudrador alias Bapak Pendiri-nya.
Klub baru itu memulai perjalanannya dengan cukup
sukses; setelah kalah dari Bizcaya di final Copa del Rey perdana pada 1902,
Barcelona bangkit dengan memenangkan delapan kali kompetisi, antara saat itu
hingga 1928. Tahun berikutnya, mereka merebut gelar La Liga perdana, sebelum
kemudian memasuki masa kemunduran akibat konflik politik yang sedang berlangsung
di negara tersebut, yang eskalasinya makin membesar hingga mengakibatkan
pecahnya Perang Saudara Spanyol, dimana Kerajaan diganti oleh rezim militer
Franco.
Masa Gamper di Barcelona berakhir dengan tiba-tiba,
setelah ia dideportasi dari Spanyol karena alasan politik. Beberapa tahun
kemudian, ia bunuh diri. Kondisi keuangan yang hancur-hancuran diduga menjadi
pemicu dirinya depresi hingga lebih memilih mati.
Josep Sunyol lalu luncul selaku pengganti : direktur
baru bagi FC Barcelona. Namun tak
kunjung lama, statusnya sebagai politisi sayap kiri penentang Franco, membuat
langkahnya terhenti. Ia dieksekusi mati pada 1936. Hal ini, beserta sederet
tekanan yang diberikan Franco atas ambisi nasionalnya kepada Barca beserta
orang-orang Katalunya, konon menjadi musabab bagi lahirnya motto legendaris
itu, yang kemudian hari pada 1967, didengungkan secara lantang oleh salah satu
mantan Presiden Klub mereka, Narcis Serra, yang mengatakan bahwa : Barca sudah
bukan sekedar klub sepakbola. Melainkan simbol Katalunya dengan budaya serta
cita-cita kemerdekaannya.
RIVALITAS DENGAN TIM IBUKOTA
Insiden teriakan dalam pertandingan melawan CE
Jupiter pada 1925, yang dimaknai sebagai olok-olok atas Royal March / Marca Real, lagu kebangsaan Spanyol kala itu, menjadi
muasal sekaligus penguat atas sentimen anti-Barcelona. Dan lebih jauh lagi,
sentimen terhadap Katalunya sebagai tempat asal mereka, yang hingga kini tak
merasa menjadi bagian dari Espaniola.
Meski rezim beralih ke tangan Franco, yang kabar
burungnya diam-diam menyukai Barcelona, ambisi politik untuk menggemgam Spanyol
secara militeristik membuat ia mesti bersikap pragmatis dengan tak memberi
ampun kepada klub yang dicap sebagai representasi dari separatisme itu.
Pada 1943, laga semifinal Copa del Generalisimo yang
mempertemukan mereka dengan Real Madrid, klub kesayangan Sang Mantan Raja
sekaligus klub Ibukota yang kini dicengkeram Franco dengan begitu eratnya,
menjadi muasal bagi rivalitas sengit di antara keduanya. Sempat menang 3-0 di
kandang, El Barca dipaksa menyerah
11-1 pada leg kedua, pasca tantara Franco meneror mereka sebelum dimulainya
laga.
Tak cukup hanya di sana, El Clasico itu berlanjut hingga ke luar lapangan, tiap kali
keduanya bersaing sengit memperebutkan tanda tangan. Pada 1951, pria Hongaria
bernama Ladislao Kubala begitu mempesona bagi Madrid dan Barca. Kali ini,
pemain yang kemudian hari meleganda itu, menjatuhkan hati pada Barcelona. Tak
mau kalah, pada 1953, secara mengejutkan Madrid membajak tanda tangan pemain
Argentina yang sempat menginjakkan kakinya di Katalunya : Alfredo Di Stefano.
Dialah yang pada masa setelahnya, menjadi legenda karena menyumbang raihan
Piala Eropa, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Champions League, tanpa
jeda, selama 5 tahun beruntun bagi tim ibukota.
Sambil tetap bergilir domonasi dalam beragam
kejuaraan, perebutan pemain di antara keduanya terus berlangsung dari zaman ke
zaman. Di antara nama-nama itu, Johan Cruyff adalah rekrutan paling ternama,
selain karena nilai transfernya yang bombastis, kepindahannya ke Barca
nampaknya juga menjadi perkara yang membekas di hati Don Santiago Bernabeu, The Big Boss Real Madrid, yang merasa
dipecundangi oleh tingkahnya itu.
Walau kehidupan di bawah Franco terasa cukup sulit
dari sudut pandang politik, dua dekade pasca kematian Sunyol bisa dikatakan
cukup berhasil bagi klub. Dalam kurun 1942 hingga 1957, Barcelona meraih lima
gelar La Liga dan lima trofi Copa del Rey. Tak lama setelah kepindahan mereka
ke Camp Nou yang baru dibangun, pejabat klub membuka lembaran baru dengan
menunjuk Helenio Herrera sebagai manajer. Di bawah Herrera – dan peraih Ballon
d'Or, Luis Suárez (bukan pesepakbola Uruguay yang suka gigit itu) sebagai
pemimpin di lapangan – Barcelona meraih dua La Liga berturut-turut serta satu
Copa del Rey dalam tiga tahun kemudian.
Meskipun Barcelona mencatatkan sejarah sebagai tim
pertama yang mengalahkan Real Madrid di Piala Eropa, dekade 60-an secara
keseluruhan merupakan waktu yang mengecewakan bagi para fansnya. Dengan Di
Stefano yang sedang berjaya, Real Madrid menjadi rival yang terlampau kuat
hingga Barca mesti puas dengan hanya dua trofi Copa del Rey selama satu dekade.
Lebih parahnya lagi, hal ini berlangsung terus menerus hingga tahun-tahun
mendatang.
Pada 1973,
sebagaimana sempat disinggung, bintang asal Belanda bernama Johan Cruyff
bergabung dengan klub dan menjadi sebab terkuat bagi raihan gelar La Liga
pada1974, gelar La Liga pertama dalam sepuluh tahun terakhir. Setelah itu,
perlu penantian yang cukup panjang bagi raihan gelar liga berikutnya, hingga
Terry Venables menjabat manajer. Meski kerap memperoleh hasil yang kurang
berkenan di hati para fans, namun era ini bukanlah masa yang total suram bagi
Barca. Walau gelar Liga begitu sukar diperoleh, setidaknya, mereka meraih empat
gelar Copa del Rey dan dua Piala Winners.
JOHAN CRUYFF SI BAPAK LA MASIA
Pada 1979, Cruyff yang telah cukup uzur itu datang
dengan ide mendirikan akademi sepak bola yang kurang lebih akan mirip dengan
Akademi Pemuda Ajax di Belanda. Proposal itu diterima, sebuah bangunan pedesaan
tua bernama La Masia kemudian diubah
menjadi markasnya. Tahun-tahun berikutnya pun menjadi sejarah, La Masia menjadi
terkenal ke seantero dunia karena berhasil menjadi rahim yang membuai para
bintang muda, mulai dari Guardiola, Enrique, Fàbregas, Iniesta, Piqué,
Busquets, serta tentunya La Pulga,
Lionel Messi.
1988 adalah tahun yang dikenang sebagai tahun
kembalinya Johan Cruyff, Sang Legenda yang kini menjadi manajer Barca. Dalam
sekejap, Cruyff membentuk tim impiannya. Ia gabungkan pemain lokal seperti Pep
Guardiola dan Txiki Begiristain dengan bintang kelas dunia seperti Michael
Laudrup dan Romário Faria. Tak hanya itu, ia tanamkan pula filosofi baru bagi
sepak bola, yang kini dikenal sebagai Tiki-Taka.
Di bawah Cruyff, Barcelona merebut empat gelar La Liga, dua trofi Copa del Rey,
satu Piala Winners serta satu trofi Piala Eropa pertama mereka.
Selain semua pencapaiannya selama di Barcelona,
Cruyff juga menjadi pintu pembuka bagi apa yang kemudian dikenal sebagai ‘Koneksi
Belanda’. Selama kurun 90-an hingga awal 2000, Ronald Koeman, Frank De Boer,
Edgard Davids, Patrick Kluivert, hingga Giovanni van Bronckhorst, adalah
nama-nama Belanda yang silih berganti menghias starting eleven Barca. Tak
hanya sampai situ, bahkan pasca kepergian Cruyff pada 1996, Louis van Gaal
mengambil alih posisi manajer dan melanjutkan serangkaian hasil positif dengan
membawa Barca meraih dua gelar La Liga, dua Copa del Rey dan satu Piala
Winners. Semuanya terjadi sebelum pergantian abad.
LAPORTA 1.0
Kepergian Luís Figo ke rival abadi mereka, Real
Madrid, yang sedang gencar membangun proyek The
Los Galacticos pada tahun 2000, terbukti menjadi pukulan berat bagi Barça
dan ambisi mereka. Terjadi banyak perubahan dalam personel klub, namun keadaan
tetap tak membaik, hingga seorang Belanda lain datang sebagai pelatih pada
tahun 2005. Ialah Frank Rijkaard, mantan bintang Milan dan Ajax Amsterdam.
Seperti halnya Cruyff dan Van Gaal, Rijkaard
membentuk tim bertabur bintang dengan meracik kombinasi lokal dan internasional.
Ia ramu suatu perpaduan istimewa antara Giuly, Deco, Eto’o dan Ronaldinho
dengan produk La Masia yang Catalan punya seperti Puyol, Xavi dan Iniesta. Di
bawah tangannya, Barca asuhan Rijkaard
meraih dua La Liga dan satu Liga Champions.
Pada 2008, Guardiola mengambil alih posisi manajer,
setelah sebelumnya melatih Barcelona B. Sebagai Made In La Masia,
Guardiola paham betul pentingnya akademi
dan kemungkinan apa yang dimilikinya. Metode pelatihannya berfokus pada Tiki-Taka yang kini terkenal di seantero
dunia, yakni gaya permainan yang menggabungkan kegemaran Cruyff dalam umpan
cepat disertai gerakan konstan guna mempertahankan penguasaan bola dengan
segala cara. Selain itu, taktik ini lebih menekankan penandaan zona daripada
sistem tradisional berbasis formasi. Tak lama kemudian, resep itu berbuah
hasil. Barcelona meraup begitu banyak keuntungan darinya. Menghegemoni sepak
bola dunia.
Selama empat tahun memimpin, Guardiola mengubah
Barcelona menjadi klub paling dominan. Taburan bintang La Masia dengan Lionel
Messi selaku punggawa utama, membawa Barca menerjang semua rival yang
menghalangi jalannya menuju juara. Benar
saja, tiga gelar La Liga, dua gelar Copa del Rey dan dua gelar Liga Champions
pada 2008 dan 2012 menjadi hasilnya. Bahkan setelah kepergian Guardiola, Barca
tetap melaju dengan rumus sukses yang sama, meski tak secermerlang
sebelumnya. Di tahun-tahun itu, mereka
mengklaim tambahan dua La Liga, satu Copa del Rey dan Liga Champions pada 2015.
DANA VS NILAI-NILAI KATALUNYA
Selama bertahun-tahun lamanya, seragam Barca telah
kosong dengan sengaja dari logo sponsor manapun kecuali UNICEF, dalam suatu
kesepakatan yang istimewa. Namun pada 2010, deal
seharga €30 juta dengan Qatar
Foundation, nampaknya merupakan tawaran
yang tak dapat ditolak oleh Sandro Rossel yang baru terpilih sebagai
Presiden Klub menggantikan Joan Laporta yang telah melalui masa gemilang sejak
kedatangannya pada 2003. Dengan beragam alasan, keputusan kontroversial ini
diambil. Selain fakta bahwa T-shirt mereka menjadi tak lagi "bersih",
kesepakatan dilakukan dengan perusahaan yang berasal dari negeri yang dipimpin
rezim diktator. Hal ini kemudian dipandang bertentangan dengan nilai-nilai yang
dianut Barca selaku representasi Catalan dengan segenap kebudayaanya. Meski
para Socio mengatakan ya, tak seluruh
fans menerima itu dengan hati yang gembira.
MESSI YANG PERGI, LAPORTA YANG KEMBALI
Pasca Raihan Liga Champions pada 2015, era sesudahnya
bisa dikatakan biasa-biasa saja. Kehadiran Presiden baru bernama Joseph Maria
Bartomeu, meski sempat digadang mampu membawa Barca melanjutkan tren
kegemilangan, ternyata tak mampu membawa kemajuan. Alih-alih mendatangkan
perbaikan, Bartomeu justru membawa Barca pada era yang tak memuaskan.
Selain Entrenador
yang mudah datang dan pergi, era Bartomeu juga dikenang sebagai era pemborosan
yang kemudian membawa Barca terjerat timbunan utang. Belanja pemain yang
dilakukan tanpa perhitungan matang, membuat Barca terperangkap over-value atas datangnya pemain baru
selama bursa transfer di tiap musim.
Tak perlu lama bagi para Socio untuk mengambil tindakan bagi Bartomeu. Pemilihan Presiden
baru pun digelar. Joan Laporta kembali, meraih kursi yang sempat ia tinggalkan
pada satu dekade silam.
Di tahun pertamanya, upaya perbaikan ia lakukan.
Format lama berupa Koneksi Belanda kembali
ia aktifkan. Ronald Koeman ditunjuk guna menjabat kursi pelatih. Namun sayang,
belum genap setahun berselang, pandemi Korona datang menyerang. Klub yang retak
pasca era Bartomeu itu menghadapi ujian terberatnya dari sisi keuangan.
Ketentuan mengenai gaji pemain yang diatur sedemikian rupa oleh La Liga, tak
bergayung sambut dengan aspirasi pemain untuk mendapat gaji yang sepadan dengan
kiprahnya yang merajai belasan kejuaraan.
Posting Komentar untuk " CERITA BARCA BAGI PARA DE CULES PEMULA"