Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Reformasi Pola Pikir

Pendidikan sejatinya ialah proses pembelajaran dan pembentukan karakter bagi setiap insan. Belajar berarti menyerap. Sesuatu yang kita serap pastilah memiliki sebuah dampak. Pendidikan yang ideal seharusnya memberikan dampak yang baik bagi pertumbuhan karakter dan pola pikir manusia.

Agama Islam sudah sedari dulu mengajarkan bahwa sekecil apapun ilmu yang kita dapat, sebaiknya diamalkan agar lebih bermanfaat. Begitu pula dengan konsep pendidikan yang sebenarnya. Mendidik agar kelak mampu menjadi pendidik. 
reformasi pola pikir

Para orang tua di luar sana, memotivasi anak-anaknya untuk senantiasa belajar agar kelak menjadi sosok penolong dan pencipta pembaharuan. Bukan menjadi robot pekerja yang lupa kampung halaman. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya pendidikan di beberapa desa dan pelosok negeri kita masih banyak yang terbelakang. Mungkin salah satunya adalah kampung tempat dimana kita tumbuh dan dilahirkan.

Hal ini bukan semata-mata lalainya pemerintah dalam pemerataan sarana pendidikan. Baik dari segi fasilitas maupun tenaga pengajar. Memang masih banyak kekurangan. Tapi pernahkah kita berpikir? Bahwa sampai detik ini, kita pun tak pernah memberikan sumbangsih apa-apa bagi kampung halaman kita.

Kemana perginya anak kampung yang dulu bersekolah agar kelak menjadi "manusia". Sebenarnya apa definisi "manusia" yang Bapak lontarkan ketika aku berpamitan dan Ia mengulurkan tangan? Apakah menjadi pegawai kantoran dengan gaji jutaan? Atau
kembali ke kampung dan memperbaiki keadaan?

Baca juga: Merdesa atau Mati

Dua belas tahun lamanya menempuh pendidikan minimum di Indonesia, dengan kurikulum yang 'merobotkan' setiap pelajar serta mengotakkan seluruh kreatifitas dan gagasan yang mereka punya. Jangan heran jika sistem pendidikan di negara kita lebih banyak menghasilkan robot pekerja dibandingkan tokoh pencipta.

Motivasi dari orang tua yang kurang akurat juga seringkali membuat pola pikir anak dalam belajar tersumbat. Tak sedikit orangtua yang menyekolahkan anaknya agar mudah bekerja dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari dirinya. Motivasi seperti ini melahirkan pola pikir anak yang tekun belajar demi mengejar materi bukan mengejar mimpi.

Pola pikir salah seperti itu secara tidak sadar sudah menjadikan pribadi setiap anak sebagai pribadi budak yang patuh pada tuannya. Pribadi anak yang patuh pada ketentuan minimun nilai di sekolahnya. 

Buktinya, seringkali saya temui teman yang belajar agar nilai ulangannya tidak diremedial. Hal yang seharusnya mendasari mereka belajar adalah keinginan untuk memahami sesuatu agar mampu memecahkan sebuah perkara. Tapi mau bagaimana lagi. Sistem ranking dan nilai KKM mengharuskan kita menjadi budak nilai ~ secara tidak langsung ~.

Ada pula pelajar yang bersekolah hanya demi ijazah. Tujuan itu mereka lontarkan karena stimulus dari orangtua. Mereka ingin anaknya menghasilkan duit banyak dan lebih kaya dari mereka. Ketimbang menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. 

Tujuan akhir mereka pun hanya selembar ijazah. Tak lebih dari selembar kertas tanpa makna-hanya untuk pelengkap persyaratan kerja. Keuangan keluarga yang melilit, memaksa setiap keturunan untuk hidup sulit. 

Hidup bertani atau melaut di pedesaan seringkali kurang menjanjikan. Mau tak mau si bungsu harus segera memiliki pekerjaan. Dengan tiga lembar ijazah itulah mereka pergi merantau. Untuk bekerja pastinya, karena uang yang paling Emak dan Bapak butuhkan. Tunda dulu masalah pendidikan yang tinggi, yang penting gengsi di kampung cepat terpenuhi.


Banyak pemuda yang memutuskan untuk bekerja setelah lulus. Lebih memilih menjalani hidup sebagai budak pabrik layaknya hukuman sisifus. Padahal jauh di kampung, ada anak tetangganya yang masih tak mampu membaca. Karena tak ada uang dan tak ada yang sudi mengajar. Ada anak yang serba ingin tahu tapi tak punya banyak buku. Kota telah membuat kita lupa akan nasib kampung yang berharap kita pulang untuk membuatnya tersanjung.

Seharusnya pendidikan menjadikan kita pribadi yang peduli terhadap pendidikan itu sendiri. Pendidikan hendaknya mampu membuat kita menengok ke kiri dan kanan untuk merangkul serta ke bawah untuk senantiasa membantu dan bersyukur. 

Tak ada salahnya jika kita lebih berpendidikan untuk bisa membantu saudara sekampung. Menjadi solusi diantara rentetan kendala dalam menempuh pendidikan yang mesti mereka hadapi. Seharusnya tanpa mereka pinta, kita sudah harus ada untuk memberi. Baik tenaga maupun materi. 

Maka hal pertama yang harus kita lakukan demi pendidikan ialah mengubah perspektif
ketika mengenyam pendidikan itu sendiri. Jadikan belajar sebagai sarana pengembangan
diri agar menjadi pribadi yang siap berbakti pada masyarakat suatu saat nanti. Jangan
menjadi pelajar yang siap bekerja, jadilah pelajar yang siap mengabdi.

Jangan pulang hanya untuk melepas rindu. Sesekali tengoklah keadaan pendidikan di kampung kita yang masih kurang maju. Luangkanlah waktu untuk berbagi ilmu hingga mereka merasa terbantu. 

Menjadi penolong pendidikan tak melulu harus menjadi relawan yang dengan senang hati selalu mengajar tanpa dibayar. Ada banyak cara untuk berkolaborasi demi perbaikan pendidikan di negeri ini. Ada banyak media untuk beramal. Menyuarakan kesadaran akan pendidikan walau hanya sekedar berupa tagar pun sudah merupakan bentuk peduli terhadap pendidikan. Setidaknya ada kemauan walau tak sempat melakukan tindakan.

Buku-buku usang kita akan lebih berarti jika disumbangkan agar rak-rak di perpustakaan lebih terisi. Tak perlu buku novel karangan Boy Chandra atau Fiersa Besari. Buku apa saja yang sekiranya dapat berdampak positif di kemudian hari. 

Percayalah, bantuan yang kita beri tak akan pernah membuat kita menyesal suatu saat
nanti.

Penulis:
Widya Astuti (SMAN 29 Garut)


Posting Komentar untuk "Reformasi Pola Pikir"