Pahlawan Emansipasi Wanita Pertama Indonesia R.A. Lasminingrat: Sebuah Ode Untuk Ibu Kita
Moegi pengkoeh dikaadilan, tiwasna nagara taja kadjaba parentah koerang adil, noe djadi ratoe koedoe roemasa toekang angon, masing titen kana angonanana. ~ R.A.Lasminingrat dalam Tjarita Oraj Bodas, hlm. 156.
Mungkin sebagian besar orang Indonesia, sudah mendaulat R.A. Kartini (1879-1904) sebagai tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia. Sebab, pemikirannya tentang kemajuan wanita Indonesia tertuang dalam buku yang berjudul: Habis Gelap Terbitlah Terang.
Akan tetapi, alangkah "malas"-nya manusia Indonesia, sehingga dengan begitu saja mempercayai, bahwa tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia: Raden Ajeng Kartini. Sedangkan, dalam kenyataan sejarah R.A. Kartini bukanlah tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia.
Mari saya ceritakan dengan senang hati, tokoh emansipasi pertama di Indonesia yang sebenarnya.
R.H. Moehammad Moesa adalah Hoofdpanghulu Limbangan (yang sekarang bernama Garut), sekaligus tokoh agamawan yang disegani oleh semua orang di Kabupaten Limbangan waktu itu. Beliau juga adalah seorang penyair/pujangga sunda dengan karya yang paling terkenal yaitu Panji Wulung.
R.A. Lasminingrat adalah salah satu putri R.H. Moehammad Moesa yang menerima pendidikan barat. Hal yang mendorong R.A. Lasminingrat bisa menerima pendidikan barat, adalah disebabkan R.H. Moesa mempunyai hubungan akrab dengan orang Belanda yang liberal, yaitu Levysshon Norman (Sekretaris Umum Gubernur Jendral Hindia-Belanda) dan Karel Frederick Holle (1829-1896) (juragan Teh dari Cikajang).
Awal menerima pendidikan barat, R.A. Lasminingrat berusia 17 tahun. Beliau dijadikan anak angkat oleh Levysshon Norman atas seijin R.H. Moehammad Moesa dan dibawa ke Sumedang untuk beberapa tahun, untuk belajar ilmu pengetahuan.
Hal tersebut diperkuat dengan bukti surat K.F. Holle kepada Gubernur Jenderal J. Loudon (1872-1875):
".... Salah seorang anak perempuan Hoofpanghulu yang tinggal bersama keluarga Levysshon di Sumedang untuk waktu yang lama sebelum dia menikah, tidak hanya berbicara bahasa Belanda dan sudah terbiasa dengan berbagai hal yang bagus seperti disiplin dan kebersihan, tetapi sekarang juga menerjemahkan buku berbahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda untuk tujuan pendidikan kaum Bumiputra...."
Ketika R.A. Lasminingrat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan Levysshon Norman, R.A. Lasminingrat juga belajar menerjemahkan bahkan menyadur karya-karya dari orang-orang barat dengan baik.
Sebagaimana bukti penguatnya terdapat pada surat K.F. Holle kepada P.J. Veth:
".... Anak perempuan Penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri dongeng (oleh J.A.A.
Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda. Pemerintah sudah memberi
kuasa untuk mencetak salah satu kumpulan tulisannya itu."
Setelah menerima pendidikan beberapa tahun dari Levysshon Norman, R.A. Lasminingrat
menikah dengan untuk pertama kalinya dengan Raden Tamtoe Somadiningrat. Setelah suaminya meninggal, R.A. Lasminingrat mengisi waktunya dengan menulis dan menyadur kembali buku-buku barat, terutama bacaan berbahasa Belanda.
Disinilah peran penting K.F. Holle terhadap keberlangsungan intelektual R.A. Lasminingrat, dimana pada saat itu K.F. Holle memberi pengetahuan lebih dalam ilmu pengetahuan dan sekaligus menerbitkan karya-karya saduran R.A. Lasminingrat kepada publik luas.
Setelah itu, R.A. Lasminingrat menikah kembali untuk kedua kalinya dengan Raden Wiratanoedatar. Lalu, perjalanan R.A. Lasminingrat selanjutnya adalah mendirikan sekolah barat bersama ayahnya, 1873.
Akan tetapi, R.H. Moehammad Moesa 'tak menghiraukan respon tersebut. Sebab, menurutnya pendidikan sekolah barat akan berperan penting untuk masa depan nanti.
Dan, pada tahun 1907, R.A. Lasminingrat kemudian mendirikan kembali untuk keduanya sekolah barat, akan tetapi, untuk yang kedua kalinya sekolah tersebut khusus wanita, yaitu Sakola Kaoetamaan Istri.
Walaupun dari segi dokumentasi kurang, atas apa gambaran yang dilakukan oleh R.A. Lasminingrat dan R.H. Moehammad Moesa dalam sepak terjang terhadap pendidikan untuk bumi putra. Akan tetapi, dalam bukti lapangan ada, seperti bangunan Sakola Kaoetamaan Istri Garoet (Jl. Ranggalawe Garut) dan beberapa karya tulis R.A. Lasminingrat sebagai bahan ajarnya.
Tulisan-tulisan hasil penyaduranna tersebut yang diajar R.A. Lasminingrat kepada murid-
muridnya di sekolah barat ayahnya dulu dan Sakola Keoetamaan Istri. Sekolah tersebut tidak saja untuk boemi putra, tetapi juga sebagian adalah anak-anak Indo atau tulen Belanda.
Lasminingrat dalam hal merintis pendidikan bagi 'boemi poetra' di Bandung. Sebagaimana
menurut keterangan dari Deddy Effendie Tp.M.Hs dalam bukunya Raden Ajoe Lasminingrat
(1843-1948): Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia, mengatakan:
"Mengetahui hal itu Modjaningrat menyampaikan kesulitas Dewi Sartika kepada ibundanya.
Raden Ajoe Lasminingrat tersentuh hatinya dan berusaha menolong serta sekaligus mendorong Raden Adjeng Dewi Sartika. Beliau meminta suaminya R.A.A. Wiratanoedatar VIII memberikan saran kepada Bupati Bandung agar meluluskan keinginan Dewi Sartika. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, biarkanlah mendirikan sekolah itu dilingkungan pendopo dulu. Kalau ternyata tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, nanti mudah saha minta bantuan Inspektur V. Den Hamet."
Sehingga intinya, Dewi Sartika dapat mendirikan sekolah hingga berhasil di Bandung, itu berkat nasihat dari R.A. Lasminingrat selaku saudaranya di Garut.
Warnasari I dan Warnasari II diterjemahkan dari buku Verhalen Van Moeder de Gans, juga
mengalami beberapa cetak ulang baik dalam aksara Jawa maupun aksara Latin pada tahun 1887, 1903, dan 1909.
Pada tahun-tahun berikutnya buku-buku R.A. Lasminingrat, termasuk yang laris terjual, cetakan pertama terbit dengan harga f 0,40. Tjarita Erman pada tahun 1911 (aksara latin) terbit merupan edisi kedua, dan edisi ketiga 1922. Tahun 1919 MS Tjakrabangsa, menerjemahkan Tjarita Erman dalam bahasa melayu dengan judul Hikayat Erman. Ini membuktikan bahwa karya R.A. Lasminingrat jangkauannya telah jauh melampaui etnis Sunda[1].
Lasminingrat: Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia (hal. 135).
Mungkin sebagian besar orang Indonesia, sudah mendaulat R.A. Kartini (1879-1904) sebagai tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia. Sebab, pemikirannya tentang kemajuan wanita Indonesia tertuang dalam buku yang berjudul: Habis Gelap Terbitlah Terang.
Akan tetapi, alangkah "malas"-nya manusia Indonesia, sehingga dengan begitu saja mempercayai, bahwa tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia: Raden Ajeng Kartini. Sedangkan, dalam kenyataan sejarah R.A. Kartini bukanlah tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia.
Mari saya ceritakan dengan senang hati, tokoh emansipasi pertama di Indonesia yang sebenarnya.
***
Raden Ajoe Lasminingrat (1843-1948) adalah putri sunda dari pasangan (penyair sunda) R.H. Moehammad Moesa (1822-1886) dan R.A. Rija. R.H. Moehammad Moesa adalah Hoofdpanghulu Limbangan (yang sekarang bernama Garut), sekaligus tokoh agamawan yang disegani oleh semua orang di Kabupaten Limbangan waktu itu. Beliau juga adalah seorang penyair/pujangga sunda dengan karya yang paling terkenal yaitu Panji Wulung.

Awal menerima pendidikan barat, R.A. Lasminingrat berusia 17 tahun. Beliau dijadikan anak angkat oleh Levysshon Norman atas seijin R.H. Moehammad Moesa dan dibawa ke Sumedang untuk beberapa tahun, untuk belajar ilmu pengetahuan.
Hal tersebut diperkuat dengan bukti surat K.F. Holle kepada Gubernur Jenderal J. Loudon (1872-1875):
".... Salah seorang anak perempuan Hoofpanghulu yang tinggal bersama keluarga Levysshon di Sumedang untuk waktu yang lama sebelum dia menikah, tidak hanya berbicara bahasa Belanda dan sudah terbiasa dengan berbagai hal yang bagus seperti disiplin dan kebersihan, tetapi sekarang juga menerjemahkan buku berbahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda untuk tujuan pendidikan kaum Bumiputra...."
Ketika R.A. Lasminingrat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan Levysshon Norman, R.A. Lasminingrat juga belajar menerjemahkan bahkan menyadur karya-karya dari orang-orang barat dengan baik.
Baca juga: Haji Hasan dan Visi Bungbulang Masa Depan
".... Anak perempuan Penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri dongeng (oleh J.A.A.
Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda. Pemerintah sudah memberi
kuasa untuk mencetak salah satu kumpulan tulisannya itu."
Setelah menerima pendidikan beberapa tahun dari Levysshon Norman, R.A. Lasminingrat
menikah dengan untuk pertama kalinya dengan Raden Tamtoe Somadiningrat. Setelah suaminya meninggal, R.A. Lasminingrat mengisi waktunya dengan menulis dan menyadur kembali buku-buku barat, terutama bacaan berbahasa Belanda.
Disinilah peran penting K.F. Holle terhadap keberlangsungan intelektual R.A. Lasminingrat, dimana pada saat itu K.F. Holle memberi pengetahuan lebih dalam ilmu pengetahuan dan sekaligus menerbitkan karya-karya saduran R.A. Lasminingrat kepada publik luas.
Setelah itu, R.A. Lasminingrat menikah kembali untuk kedua kalinya dengan Raden Wiratanoedatar. Lalu, perjalanan R.A. Lasminingrat selanjutnya adalah mendirikan sekolah barat bersama ayahnya, 1873.
Perintis Pendidikan Barat
R.A. Lasminingrat dengan ayahnya mendirikan sebuah sekolah barat untuk pertama kalinya pada tahun 1873. Hal ini memberikan respon negatif dari masyarakat pada waktu itu. Sebab, orang-orang kecewa kepada R.H. Moehammad Moesa yang seharusnya mendirikan pesantren, malah mendirikan sekolah "kafir" (istilah orang-orang Islam waktu itu).Akan tetapi, R.H. Moehammad Moesa 'tak menghiraukan respon tersebut. Sebab, menurutnya pendidikan sekolah barat akan berperan penting untuk masa depan nanti.
Dan, pada tahun 1907, R.A. Lasminingrat kemudian mendirikan kembali untuk keduanya sekolah barat, akan tetapi, untuk yang kedua kalinya sekolah tersebut khusus wanita, yaitu Sakola Kaoetamaan Istri.
Walaupun dari segi dokumentasi kurang, atas apa gambaran yang dilakukan oleh R.A. Lasminingrat dan R.H. Moehammad Moesa dalam sepak terjang terhadap pendidikan untuk bumi putra. Akan tetapi, dalam bukti lapangan ada, seperti bangunan Sakola Kaoetamaan Istri Garoet (Jl. Ranggalawe Garut) dan beberapa karya tulis R.A. Lasminingrat sebagai bahan ajarnya.
Tulisan-tulisan hasil penyaduranna tersebut yang diajar R.A. Lasminingrat kepada murid-
muridnya di sekolah barat ayahnya dulu dan Sakola Keoetamaan Istri. Sekolah tersebut tidak saja untuk boemi putra, tetapi juga sebagian adalah anak-anak Indo atau tulen Belanda.
Hubungan Erat dengan Dewi Sartika
Dewi Sartika yang dikenal oleh khalayak masyarakat Indonesia sebagai tokoh kedua emansipasi wanita di Indonesia sebelum R.A. Kartini. Dewi Sartika juga punya hubungan erat dengan R.A.Lasminingrat dalam hal merintis pendidikan bagi 'boemi poetra' di Bandung. Sebagaimana
menurut keterangan dari Deddy Effendie Tp.M.Hs dalam bukunya Raden Ajoe Lasminingrat
(1843-1948): Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia, mengatakan:
"Mengetahui hal itu Modjaningrat menyampaikan kesulitas Dewi Sartika kepada ibundanya.
Raden Ajoe Lasminingrat tersentuh hatinya dan berusaha menolong serta sekaligus mendorong Raden Adjeng Dewi Sartika. Beliau meminta suaminya R.A.A. Wiratanoedatar VIII memberikan saran kepada Bupati Bandung agar meluluskan keinginan Dewi Sartika. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, biarkanlah mendirikan sekolah itu dilingkungan pendopo dulu. Kalau ternyata tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, nanti mudah saha minta bantuan Inspektur V. Den Hamet."
Sehingga intinya, Dewi Sartika dapat mendirikan sekolah hingga berhasil di Bandung, itu berkat nasihat dari R.A. Lasminingrat selaku saudaranya di Garut.
Karya R.A. Lasminingrat
R.A. Lasminingrat mempunyai karya atas penyadurannya, antara lain Carita Erman, Warnasari I dan Warnasari II. Karya tersebut tidak dikenal secara lokal, akan tetapi, dikenal secara internasional. Sebagaimana dalam buku dongeng-dongeng Warnasari I terbit 1876, dan Warnasari II, 1887.Warnasari I dan Warnasari II diterjemahkan dari buku Verhalen Van Moeder de Gans, juga
mengalami beberapa cetak ulang baik dalam aksara Jawa maupun aksara Latin pada tahun 1887, 1903, dan 1909.
Pada tahun-tahun berikutnya buku-buku R.A. Lasminingrat, termasuk yang laris terjual, cetakan pertama terbit dengan harga f 0,40. Tjarita Erman pada tahun 1911 (aksara latin) terbit merupan edisi kedua, dan edisi ketiga 1922. Tahun 1919 MS Tjakrabangsa, menerjemahkan Tjarita Erman dalam bahasa melayu dengan judul Hikayat Erman. Ini membuktikan bahwa karya R.A. Lasminingrat jangkauannya telah jauh melampaui etnis Sunda[1].
***
Nah, tulisan ini adalah sebuah protes saya terhadap mereka yang menyanjung R.A. Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia. Saya sengaja menguraikan sepak terjang R.A. Lasminingrat secara ringkas, agar mereka yang menyanjung R.A. Kartini mengetahui, bahwa dalam kenyataan sejarah R.A. Lasminingrat-lah yang pertama kali memulai pergerakkan emansipasi wanita di Indonesia, serta penggebrak pendidikan modern di Indonesia.Referensi
[1] Informasi tersebut didapat dari buku karya Deddy Effendi yang berjudul Raden AjoeLasminingrat: Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia (hal. 135).
Biodata Penulis:
Max Tonnelar adalah nama pena dari seorang belasteran Bungbulang-Cikajang, yang lahir pada tanggal 19 Desember 2000. Tulisannya dalam bahasa sunda terbit dalam antologi esai bahasa sunda yang berjudul Pamatri Literasi di terbitkan oleh Komunitas Ngéjah. Pekerjaan kesehariannya tidur dan gosok gigi ataupun makan apabila merasa lapar.
Baca Juga: Refleksi Kisah Dalem Boncel Masa Kini
Masih ada banyak kesalah pada tanda baca dan perlakuan huruf. Semoga bisa diperbaiki oleh pihak redaktur...
BalasHapus