Review Film Schindler's List: Dua Sisi Korporasi
Kemenangan Kapitalisme atas ideologi ekonomi lain, seperti yang Francis Fukuyama tulis dalam 'The End Of History', telah menahbiskan kekayaan sebagai segala-galanya. Ia bisa mengalahkan apapun, termasuk entitas yang dianggap paling kuat di masa lalu, yakni negara.
Kini, seiring menjamurnya perusahaan lintas negara (Trans-National Company), sering pula kita dengar istilah 'Kejahatan Korporasi', yakni suatu tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh para pemilik modal guna mempertahankan atau menambah jumlah kekayaan yang dimiliki.
Adapun modusnya, bisa berupa sogokan demi sebuah izin usaha illegal, terbitnya aturan yang menguntungkan perusahaan atau bertenggernya seseorang yang disponsori untuk menjadi penguasa, yang di kemudian hari akan disetir untuk memberikan keuntungan finansial bagi pengusaha.
Mereka kuat. Mereka rakus. Mereka bisa membeli segalanya. Mereka bisa mengalahkan apa saja dan siapa saja.
Atas hal tersebut, tak heran bila publik kemudian menatap tindak-tanduk para pengusaha dengan sinis. Seolah mustahil tersisa sedikit pun rasa belas kasih di hati mereka.
Akan tetapi, film berjudul 'Schindler List' layak ditonton sebagai perspektif pembanding. Di film yang diangkat dari kisah nyata itu, tersebutlah Oscar Schindler yang hidup sebagai industriawan di masa Perang Dunia II kala jutaan Yahudi dibantai Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP; Partai NAZI)
Di pabriknya, Schindler yang adalah bagian dari Jerman, mempekerjakan ribuan Yahudi hingga tumbuh kaya raya dari usahanya itu.
Singkat cerita, pabrik Schindler berubah menjadi tempat perlindungan bagi Yahudi yang berharap lolos dari pembantaian, dengan syarat, NAZI memandangnya sebagai sumber daya yang berguna dengan Schindler sebagai penjaminnya.
Sekian tahun berjalan, Schindler terus tumbuh kaya dari usahanya itu. Namun pembantaian terhadap Yahudi, tetap tak berhenti. Kecuali, terhadap mereka yang Schindler pekerjakan. Hingga, suatu keajaiban datang.
Perlawanan yang dilakukan oleh Sekutu kepada Jerman mulai menampakkan hasil. Sadar atas potensi kekalahan dalam perang, Hitler memerintahkan penutupan camp konsentrasi dimana pabrik Schindler beroperasi. Dan itu berarti, tiada lagi tempat bersembunyi bagi Yahudi.
Lantas, sebagai pengusaha, apa yang Schindler lakukan?
Apakah ia pergi begitu saja, tanpa peduli bahwa para pekerjanya yang berlainan bangsa itu ludes dibantai?
Sama sekali tidak. Dalam waktu sekejap, Schindler bergegas menyogok pemimpin NAZI guna bisa meloloskan para Yahudi itu dengan seluruh harta hasil usahanya.
Dan, ia berhasil. 1100 pekerjanya yang Yahudi, selamat. Daftar nama mereka itulah yang kemudian menjadi judul film ini.
Jerman kalah. Hitler bunuh diri. Mantan pekerja Schindler menghadiahinya cincin bertuliskan,"Barang siapa menyelamatkan seorang manusia, ia telah menyelamatkan seisi dunia".
Schindler terharu. Dalam tangisnya ia berkata,"Dengan mobil, pulpen emas dan harta lain yang kumiliki, sungguh bisa kuselamatkan jumlah manusia yang lebih dari ini. Namun sayang, terlalu sering kuhamburkan hartaku untuk sesuatu yang percuma".
Hari ini, kini, ketika menyaksikan Bill Gates dan Warren Buffet menghabiskan miliaran Dollar melalui The Giving Pledge guna membantu para penderita kanker dan anak-anak terlantar di berbagai negara Dunia Ketiga. Atau, saat Jack Ma memutuskan pensiun dari Alibaba demi bisa fokus dalam beragam kegiatan pendidikan bagi warga miskin di Tiongkok, di sana sungguh bisa kita temui percikan diri Oscar Schindler terpancar nyata. Juga suatu fakta bahwa, korporasi tak selalu jahat sifatnya.
Meski memang sayang, teladan-teladan seperti demikian, sejauh ini masih merupakan pengecualian.
Penulis:
Yoga Prayoga
Kini, seiring menjamurnya perusahaan lintas negara (Trans-National Company), sering pula kita dengar istilah 'Kejahatan Korporasi', yakni suatu tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh para pemilik modal guna mempertahankan atau menambah jumlah kekayaan yang dimiliki.
Adapun modusnya, bisa berupa sogokan demi sebuah izin usaha illegal, terbitnya aturan yang menguntungkan perusahaan atau bertenggernya seseorang yang disponsori untuk menjadi penguasa, yang di kemudian hari akan disetir untuk memberikan keuntungan finansial bagi pengusaha.
Mereka kuat. Mereka rakus. Mereka bisa membeli segalanya. Mereka bisa mengalahkan apa saja dan siapa saja.
Atas hal tersebut, tak heran bila publik kemudian menatap tindak-tanduk para pengusaha dengan sinis. Seolah mustahil tersisa sedikit pun rasa belas kasih di hati mereka.

Akan tetapi, film berjudul 'Schindler List' layak ditonton sebagai perspektif pembanding. Di film yang diangkat dari kisah nyata itu, tersebutlah Oscar Schindler yang hidup sebagai industriawan di masa Perang Dunia II kala jutaan Yahudi dibantai Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP; Partai NAZI)
Di pabriknya, Schindler yang adalah bagian dari Jerman, mempekerjakan ribuan Yahudi hingga tumbuh kaya raya dari usahanya itu.
Singkat cerita, pabrik Schindler berubah menjadi tempat perlindungan bagi Yahudi yang berharap lolos dari pembantaian, dengan syarat, NAZI memandangnya sebagai sumber daya yang berguna dengan Schindler sebagai penjaminnya.
Sekian tahun berjalan, Schindler terus tumbuh kaya dari usahanya itu. Namun pembantaian terhadap Yahudi, tetap tak berhenti. Kecuali, terhadap mereka yang Schindler pekerjakan. Hingga, suatu keajaiban datang.
Perlawanan yang dilakukan oleh Sekutu kepada Jerman mulai menampakkan hasil. Sadar atas potensi kekalahan dalam perang, Hitler memerintahkan penutupan camp konsentrasi dimana pabrik Schindler beroperasi. Dan itu berarti, tiada lagi tempat bersembunyi bagi Yahudi.
Lantas, sebagai pengusaha, apa yang Schindler lakukan?
Apakah ia pergi begitu saja, tanpa peduli bahwa para pekerjanya yang berlainan bangsa itu ludes dibantai?
Sama sekali tidak. Dalam waktu sekejap, Schindler bergegas menyogok pemimpin NAZI guna bisa meloloskan para Yahudi itu dengan seluruh harta hasil usahanya.
Dan, ia berhasil. 1100 pekerjanya yang Yahudi, selamat. Daftar nama mereka itulah yang kemudian menjadi judul film ini.
Jerman kalah. Hitler bunuh diri. Mantan pekerja Schindler menghadiahinya cincin bertuliskan,"Barang siapa menyelamatkan seorang manusia, ia telah menyelamatkan seisi dunia".
Schindler terharu. Dalam tangisnya ia berkata,"Dengan mobil, pulpen emas dan harta lain yang kumiliki, sungguh bisa kuselamatkan jumlah manusia yang lebih dari ini. Namun sayang, terlalu sering kuhamburkan hartaku untuk sesuatu yang percuma".
Hari ini, kini, ketika menyaksikan Bill Gates dan Warren Buffet menghabiskan miliaran Dollar melalui The Giving Pledge guna membantu para penderita kanker dan anak-anak terlantar di berbagai negara Dunia Ketiga. Atau, saat Jack Ma memutuskan pensiun dari Alibaba demi bisa fokus dalam beragam kegiatan pendidikan bagi warga miskin di Tiongkok, di sana sungguh bisa kita temui percikan diri Oscar Schindler terpancar nyata. Juga suatu fakta bahwa, korporasi tak selalu jahat sifatnya.
Meski memang sayang, teladan-teladan seperti demikian, sejauh ini masih merupakan pengecualian.
Penulis:
Yoga Prayoga
Posting Komentar untuk "Review Film Schindler's List: Dua Sisi Korporasi"