Kisah Porang dari Bungbulang
![]() |
Contoh tanaman porang atau ileus |
Di area pabrik seluas kurang lebih 1000 m2 ini, rupanya mereka sedang mengolah Porang, suatu komoditas yang relatif baru dikenal di Bungbulang. Adapun si empunya pabrik, ternyata adalah 2 (dua) orang muda-mudi alumni Keluarga Mahasiswa Bungbulang Peduli Kandangwesi (KEMBALIKAN), yakni Kang Yoga Prayoga dan Teh Shofi Fajriah Ilmi.
Hari itu, 2 Maret 2019, Tim Redaksi Kembalikan.org memang telah mengatur janji untuk berbincang dengan keduanya sekaligus, dalam rangka memperoleh informasi lengkap mengenai usaha yang mereka geluti.
Berikut kami rangkum petikan wawancaranya, dengan beberapa penyesuaian guna memudahkan pemahaman pembaca :
Sebenarnya, apa yang sedang Anda berdua kembangkan di sini?
Mengolah Porang. Istilah ilmiahnya Konjac, yang oleh orang Bungbulang kerap disebut Ileus, Acung atau bahkan Parab Oray (makanan ular).
Ini komoditas baru atau justru komoditas lama yang baru kini disadari kebermanfaatan atau nilai ekonomisnya?
Dalam konteks umum di berbagai belahan dunia, ini barang lama, sudah dikenal lama, yang sudah lama pula disadari bahkan diambil manfaatnya. Produk turunannya banyak, mulai dari bahan perekat, bungkus kapsul hingga Mie Shirataki.
Namun, khusus untuk Bungbulang, atau kami lebih senang menyebutnya Kandangwesi, karena juga mencakup Mekarmukti, Caringin, Pakenjeng dan sekitarnya, ini barang lama yang baru akhir-akhir ini disadari kebermanfaatan atau nilai ekonomisnya.
Beberapa bulan lalu, saat melalukan penyebaran informasi mengenai manfaat hingga harga jual dari komoditas ini, di beberapa desa, kami masih mendapati warga yang justru terkejut setelah mengetahui bahwa ternyata sesuatu yang selama ini tumbuh liar dengan subur di hutan dan kebun serta malah mereka anggap sebagai hama ini laku diperjual-belikan.
Atau jika tak demikian, ada juga warga di beberapa desa yang sudah tahu bahwa komoditas ini laku diperjual-belikan, namun tak menyangka bahwa harganya cukup lumayan. Dugaan mereka mulanya kurang dari Rp. 500. Atau paling mahal Rp.1000 saja.
Kalau boleh tahu, memang berapa harga beli sesungguhnya?
Hehehe… Fluktuatif. Tapi yang pasti, tak pernah kurang dari Rp. 2000 / Kg.
Tak pernah kurang, artinya selalu lebih dari itu?
Ya. Begitulah. Tepatnya tak akan kami sebutkan. Kecuali Anda petani yang menjadi mitra kami. Hehehe….
Baiklah. Itu rahasia perusahaan hahaha… Kita lanjut saja. Kalian membeli bahan baku dari para petani untuk diolah di pabrik ini. Menjadi apa?
Sejauh ini, karena baru memulai, kami mengolahnya hanya sampai menjadi Chips. Tapi ke depan, inginnya sampai menjadi Tepung Glucomanan atau Saripati Porang. Bahkan hingga menjadi Pasta.
Kenapa tidak dari sekarang saja langsung begitu?
Masih banyak kendala yang mesti dipecahkan. Mengolah Porang menjadi Tepung Glucomanan atau bahkan Pasta hanya akan feasible atau layak secara bisnis apabila kapasitas produksinya besar. Perlu ratusan, bahkan ribuan ton bahan baku per tahun.
Sementara, per hari ini, pasokan bahan baku yang kami terima masih jauh dari itu karena mengandalkan hasil temuan liar di hutan atau kebun. Bukan hasil budidaya yang dilakukan secara terencana.
Karenanya, ke depan, kegiatan budidaya oleh para petani akan terus kami dorong agar direalisasikan melalui program kemitraan. Kami yang siapkan bibit dan jaminan pemasaran. Petani yang menanam dan menjamin keberlanjutan produksi.
Nah, setelah kegiatan budidaya itu menghasilkan pasokan berlimpah, barulah kami beranjak ke arah sana (pengolahan menjadi tepung dan pasta-Red). Teknologi dan lain sebagainya sudah ada. Kolega kami dari Jepang, yang sekaligus juga merupakan konsumen untuk pangsa pasar ekspor, sudah menyatakan kesiapannya guna membantu.
Namun, ya itu tadi. Semua perlu waktu.
Pengennya kami, kelak Porang yang dibudidayakan itu khusus untuk petani yang punya lahan. Adapun Porang liar yang bisa diperoleh di hutan-hutan, biarlah itu jadi lahan garapan mereka yang sama sekali tak punya lahan. Atau punya tapi sempit adanya.
Kan lumayan itu buat mereka. Dari yang liar ini bisa diperoleh 50-100 Kg per hari. Tinggal dikalikan saja dengan harga jualnya. Anda bisa menebak sendiri hasil yg mereka peroleh.
![]() |
Gambar tanaman porang dan proses pemotongannya |
Kami lihat yang bekerja di pabrik ini seluruhnya ibu-ibu. Berapa jumlahnya dan apakah ada pertimbangan khusus mengapa mereka yang dipilih untuk dilibatkan?
Betul. Seluruhnya perempuan. Jumlahnya masih kurang dari 10 orang. Terkait pertimbangan khusus, rasanya tidak ada. Kecuali bahwa mereka humoris. Senang bercanda. Suka tertawa. Lain dari itu, para Ibu ini warga di sekitar pabrik. Karena kebetulan tidak sedang menggarap hal lain, ya kami ajak untuk terlibat di pengolahan.
Tapi, terkait pasokan bahan baku, biasanya itu dilakukan oleh kaum bapak-bapak, yang jumlahnya puluhan, para petani itu tadi, baik yang rutin mengambil Porang liar, maupun yang sedang on going progress, yakni Porang yang dibudidayakan melalui skema kemitraan.
Kalau boleh tahu, berapa jam para Ibu ini bekerja setiap harinya? Dan, sekaligus, berapa pula rata-rata take home pay yang mereka terima?
Sekitar 5 (lima) hari dalam seminggu dan sekitar 5 (lima) jam dalam sehari, yakni sejak pukul 08.00-13.00. Adapun take home pay-nya, karena status kami masih Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), ya rata-rata sekitar Rp 50.000 per hari. Ditambah bonus ketawa-ketiwi, haha-hihi sambil diperdengarkan lagu-lagu lawas nan bikin baper selama bekerja.
Anda berdua sama-sama merupakan Alumni Kembalikan. Nah, seberapa besar pengaruh Kembalikan, dengan segala dimensinya, terhadap usaha yang sedang Anda berdua jalankan?
Pertanyaannya pendek, Mas. Tapi ini jawabannya panjang.
Begini, barangkali Kembalikan, selama kami berproses di dalamnya, nampaknya telah menjadi arena bagi bertumbuh kembangnya kesadaran tentang perlunya melakukan pengabdian bagi kampung halaman.
Musababnya ya kurang lebih karena Kandangwesi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dan akan selalu begitu karena memang sudah hukum alamnya bahwa kehidupan ini penuh dengan dinamika yang inheren atau secara alami menyertainya.
Nah, di dalam dinamika itu, sebagai putera daerah, tentu kami ingin berbuat sesuatu. Ikut serta memberi kontribusi positif. Dalam hal apa? Ya dalam hal yang paling mungkin bisa kami lakukan. Untuk membuat segalanya menjadi sempurna? Bukan. Ini alam dunia. Sama sekali bukan surga. Hal yang bisa dilakukan ya hanya membuatnya menjadi lebih baik. Sebatas itu.
Apakah yang dilakukan untuk itu boleh bebas apa saja? Semaunya?
Bagi kami tidak. Kontribusi itu mesti punya arah tuju dan rambu-rambu yang menjadi pemandu.
Sejauh yang kami pelajari hingga kini, dari Kembalikan kami belajar, bahwa arah tujuan itu mesti jelas terukur. Adapun ukurannya, ya hal-hal yang disepakati oleh semua orang. Misal, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), peningkatan Indeks Kebahagiaan. Atau jika ingin agak detail, ya ketercapaian Target Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2015-2030 yang merupakan agenda Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) selama sekian tahun ke depan. Itu arah tujuannya.
Rambu-rambunya?
Kami memilih konsep Ekonomi Biru dari Gunter Pauli. Dalam Ekonomi Biru, dinyatakan jelas bahwa guna menjawab tantangan Perubahan Iklim, ledakan populasi serta ketimpangan ekonomi, maka pola bisnis yang mulanya hanya berfokus pada keuntungan (profit) saja, tapi tidak bagi lingkungan hidup (planet) dan masyarakat luas (people), atau pendek kata hanya salah satu dari yang 3 (tiga) itu, ke depan mesti diubah supaya menguntungkan bagi ketiganya sekaligus, ya profit, ya planet, ya people.
Alias sebanyak mungkin keuntungan materil bagi sebanyak mungkin orang demi sebaik mungkin dampak bagi lingkungan hidup. Dan, karena ditambah dengan paradigma Think Globally, Act Locally, sebagaimana diajarkan oleh Kembalikan, maka Kandangwesi dipilih sebagai locus bagi penerapan semuanya.
Nah, dari semangat tadi itulah Ileus Center Garut (ICG) ini bermula. Dan harus terus begitu, dalam arti sebisa mungkin dipandu dengan nilai-nilai yang tadi telah disebutkan.
Di ranah teknis, semua itu berarti bahwa ketika dihadapkan pada pilihan antara mesin pengiris otomatis bertenaga bensin atau tangan-tangan lincah para Ibu, maka demi meminimalisir jejak karbon dan mendorong pemerataan ekonomi, kami memilih tangan-tangan lincah para Ibu.
Ketika dihadapkan pada pilihan antara mesin pengering bertenaga listrik dari batu bara atau sinar mentari alami plus keterlibatan beberapa orang pekerja, demi tujuan yang serupa, lagi-lagi kami mesti memilih yang kedua.
Apakah dengan ‘banyak mengalah’ seperti itu lantas kami jadi makin cepat kaya raya? Anda bisa menebak sendiri jawabannya dari sudut padang efisiensi produksi. Tapi apa yang kami peroleh selama berproses di Kembalikan telah membuat kami terlanjur yakin bahwa kebahagiaan dalam hidup tidak sepenuhnya ditentukan oleh jumlah digit angka di rekening pribadi.
![]() |
Ibu-ibu sedang melakukan pengeringan tanaman Porang |
Pertanyaan ini tentu tak akan kami jawab dengan ‘akan jalan-jalan ke Bali’. Dilihat dari raut muka, Anda nampak tak mengharapkannya. Maksud saya, ‘apa yang akan kalian lakukan selanjutnya’ itu konteksnya tentu untuk kepentingan umum.
Ya, Anda paham betul soal ini…
Saya awali jawaban untuk ini dari sebuah fakta. Setiap tahun secara berkala, Badan Pusat Statistik (BPS) selalu merilis data terkait kondisi suatu wilayah. Temanya beragam. Saya ambil salah satu saja terkait kondisi ekonomi. Untuk suatu daerah atau wilayah, istilahnya itu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Jika kita telisik data mengenai itu, dapat kita lihat di sana bahwa PDRB Kecamatan Bungbulang, Mekarmukti, Caringin, Pakenjeng dan lain sebagainya didominasi oleh kegiatan ekonomi yang berasal dari sektor pertanian. Artinya, sebagian besar warga di daerah ini menggantungkan hidup dari usaha di bidang ini.
Namun demikian, dalam detail yang lain, dapat kita temukan pula fakta bahwa variabel penyumbang angka kemiskinan juga didominasi oleh sektor yang sama.
Mengapa bisa demikian? Jawabannya banyak. Tapi yang paling mendekati akurat, ya karena skala usaha pertaniannya kecil. Ini berkaitan dengan luas lahan yang dikelola, jumlah panen dalam semusim dan lain sebagainya. Tentu persoalan ini mesti dipecahkan.
Namun, mengingat populasi penduduk yang kian membludak, nampaknya menambah skala usaha dari segi luas lahan akan cukup sukar, bila tak dikatakan mustahil. Alternatifnya ya paling mendorong hilirisasi produk-produk pertanian agar nilai tambah dari sektor ini bisa dinikmati oleh warga Kandangwesi. Tidak terbang ke wilayah lain.
Itu artinya, ke depan, salah satu agenda yang mesti kita garap adalah mendorong agar produk pertanian yang berasal dari daerah ini tidak langsung diangkut dalam bentuk bahan baku, melainkan mesti diolah terlebih dahulu di sini, di daerah ini. Oleh orang-orang yang ada di sini. Baik menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi siap saji.
Detailnya tentu tidak bisa kami sampaikan sekarang. Tapi jelas bahwa agenda ini akan jadi tujuan kami ke depan.
Follow Instagram @indonesiankonjac
Narasumber: Yoga Prayoga dan Shofi Fajriah Ilmi Pewawancara: Ikbal Zainal Mutaqin
Editor: Dzikri Khasnudin
Mkasih dah nulis artikel ini. Saya tanam porang sejak baca ini 1 tahun lalu. Dulu kemana2 jalan kaki. Sekarang punya mobil SS berkat jual Porang dari kebon
BalasHapus