Cerpen: Pelacur Pribadi
Duaaarrrrr.. suara hantaman terdengar dari jalan yang ramai .
Aku melihat di bawah sudah ada banyak orang yang lari terkocar kacir kesana kemari. dengan santainya aku menonton mereka yang panik tak karauan. Lantai 20 lumayan tinggi dan aman untuk melihat tabrakan beruntun itu.
Sudirman Suite Apartment Bandung jadi tempat tinggal ku saat ini. Aku tidak bekerja dan tidak bersekolah. Aku tak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena faktor ekonomi. Hanya sebagai lulusan SMA yang tak punya pekerjaan apa-apa.
Beruntungnya aku di pertemukan dengan malaikat baik hati saat itu. Seorang pria muda, mahasiswa salah satu universitas swasta di Bandung. Dia orang yang baik. Setelah kita berteman selama beberapa bulan, dia menyatakan cinta padaku saat itu tepat hari selasa di suatu taman. Akhirnya kami menjalin hubungan yang lebih dari sebagai teman.
Namun cinta kita telah membutakan segalanya.
Malam itu di apartemenku, kami tidur berdua dan kami sama sekali tidak melakukan apa-apa. Entah setan apa yang merasuki tubuh kami hingga kami tak sadar melakukan kesalahan itu.
"Maafkan aku", ucap dia merasa bersalah.
Aku hanya diam, tak tau apalagi yang harus aku ucapkan. Ingin rasanya marah tapi pada siapa? karena aku sadar akupun salah dalam hal ini
"Maafkan aku", berkali-kali dia berbicara kata yang sama.
"Ya sudah lupakan saja, ini sudah terjadi pada kita. Kita hanya bisa menerima", ucapku dengan muka yang datar.
"Kamu gak marah?", tanya dia.
"Kenapa aku harus marah", jawabku dengan muka yang masih datar
(bodoh kenapa aku bilang tidak marah) ucapku dalam hati
"Ya sudah kamu istirahat, aku harus ke bank. Hari ini aku kerja" , aku hanya mengangguk setelah dia pergi aku sangat menyesali segala perbuatan ini
" Argghhhhh kenapa, kenapa harus aku" , kesal dan amarah ini tumpah di dalam ruangan sepi sendirian.
Setelah beberapa hari waktu berganti kami baik-baik saja, tak ada yang berubah, masih sama dengan kepribadian kami masing-masing.
Akan tetapi, ada sedikit hal yang mungkin perlahan akan mengubah segalanya. Yaa.. kami sering melakukan hal itu hingga satu minggu tiga kali. Entah apa yang kami pikirkan.
Aku mulai kehabisan uang. Bekal yang di kasih ibu dari kampung sudah habis di pakai makan sehari hari. Kekasihku pun sudah jarang memberi aku makan. Mungkin saat nya aku bekerja.
Aku pikir mencari pekerjaan itu mudah, namun keringat jalan sepanjang hari ini hasilnya sia sia. Tak ku dapatkan satu pun perusahaan kecil yang menerima aku sebagai karyawan. Keadaan ku disini mulai memburuk hingga aku sudah tak mampu tinggal di sini dan memutuskan untuk pulang ke kampung.
"Mas kayanya besok aku mau pulang kampung ke jawa"
"Ya sudah pulang saja dek, tapi mas gak bisa antar kamu pulang dan gak bisa kasih kamu uang karena adek juga tahu sendiri, mas sedang butuh uang banyak. Gaji kerja mas saja habis di pakai kuliah apalagi mas kan sedang menyusun skripsi"
Aku sangat kecewa. Tapi, ya sudah lah aku pun tak dapat memaksa.
Aku bergegas pulang ke kampung halamanku. Bertemu ibu yang luar biasa sumbringah menyambut aku di depan pintu
"Ya Allah ndo, kamu sudah pulang, bagaimana disana enak to kerjanya? nda cape kan, gajimu berapa?? sini sini duduk dulu. Ibu buat kan es teh dulu"
Aku sangat lemas mendengar pertanyaan ibu yang bertubi tubi.
Hampir saja air mata ku menetes namun ibu keburu datang sembari membawa segelas es teh manis
"Di minum dulu nak, ayo ceritakan pada ibumu tentang kehidupanmu disana, sudah tak sabar ibu ingin mendengarkannya" ucap ibuku tersenyum-senyum.
"Aku disana baik baik saja bu, namun untuk bulan ini Erna belum bisa bawa uang. Ibu tahukan, di sana itu biaya hidup Erna banyak sekali, dari mulai tempat tinggal, makan dan lain sebagainya bu. Ya, alhamdulilah Erna bisa mencukupi hidup Erna sendiri, sudah tidak bergantung lagi pada bapak dan ibu. tapi maaf bu..", belum saja selesai aku bicara ibu sudah menyambarnya
"Sudah-sudah nda apa-apa nak, ibu bangga kamu sudah dapat hidup mandiri, ibu tak mengharapkan uangmu nak. Tenang saja jangan meminta maaf. Kita masuk ke dalam tunggu bapakmu pulang dari ladang kita akan makan siang bersama"
Sakit sekali hati ini mendengar ucapan Ibuku.
Bapak pun pulang dan kami makan siang bersama sama. Sepertinya aku tidak jadi meminta uang kepada ibu bapak kasihan mereka, dengan alasan perkerjaan aku buru-buru pamit untuk berangkat lagi.
Aku terus berjuang mencari pekerjaan namun hasil tetap nihil.
Setiap hari, aku dan kekasihku semakin menjadi-jadi melakukan hal yang tidak pantas untuk dilakukan. Tiap setengah tahun aku pulang ke kampung tak pernah bawa uang, hanya meminta dan meminta, kekasihku sekarang mulai berubah disaat tak di beri apa yang dia mau aku di siksanya bagaikan hewan.
Hingga suatu ketika aku hamil dan menggugurkannya di kampung, tetangga-tetanggaku semua tau dan mencibir aku. Ibu dan bapak hanya terus menangis, menahan amarah dan rasa malunya akibat kehamilanku yang tanpa suami. Kekasihku kini pergi jauh entah kemana.
"Erna, kamu disana jadi pelacur ya", teman-teman sekampung menanyakan hal itu.
Aku bukan pelacur karna aku tak di bayar, namun aku memang pelacur karna sering melayani pria.
Depresi ingin bunuh diri rasanya .
Aku berlari ke atas balkon rumahku, menulis sesuatu di kertas biru
"Aku pelacur pribadi, hidupku hancur karena cinta yang tak suci. Ibu, bapak, maafkan aku tak bisa rasanya aku menahan semua ini. Lebih baik aku mati"
Ku simpan surat itu di depan pintu kamar Ibu-Bapak ku, dan aku? sudah terbang bersama dosa yang terus terbayang.
Penulis: Irma Tri Wahyuni
Aku melihat di bawah sudah ada banyak orang yang lari terkocar kacir kesana kemari. dengan santainya aku menonton mereka yang panik tak karauan. Lantai 20 lumayan tinggi dan aman untuk melihat tabrakan beruntun itu.
Sudirman Suite Apartment Bandung jadi tempat tinggal ku saat ini. Aku tidak bekerja dan tidak bersekolah. Aku tak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena faktor ekonomi. Hanya sebagai lulusan SMA yang tak punya pekerjaan apa-apa.

Beruntungnya aku di pertemukan dengan malaikat baik hati saat itu. Seorang pria muda, mahasiswa salah satu universitas swasta di Bandung. Dia orang yang baik. Setelah kita berteman selama beberapa bulan, dia menyatakan cinta padaku saat itu tepat hari selasa di suatu taman. Akhirnya kami menjalin hubungan yang lebih dari sebagai teman.
Namun cinta kita telah membutakan segalanya.
Malam itu di apartemenku, kami tidur berdua dan kami sama sekali tidak melakukan apa-apa. Entah setan apa yang merasuki tubuh kami hingga kami tak sadar melakukan kesalahan itu.
"Maafkan aku", ucap dia merasa bersalah.
Aku hanya diam, tak tau apalagi yang harus aku ucapkan. Ingin rasanya marah tapi pada siapa? karena aku sadar akupun salah dalam hal ini
"Maafkan aku", berkali-kali dia berbicara kata yang sama.
"Ya sudah lupakan saja, ini sudah terjadi pada kita. Kita hanya bisa menerima", ucapku dengan muka yang datar.
"Kamu gak marah?", tanya dia.
"Kenapa aku harus marah", jawabku dengan muka yang masih datar
(bodoh kenapa aku bilang tidak marah) ucapku dalam hati
"Ya sudah kamu istirahat, aku harus ke bank. Hari ini aku kerja" , aku hanya mengangguk setelah dia pergi aku sangat menyesali segala perbuatan ini
" Argghhhhh kenapa, kenapa harus aku" , kesal dan amarah ini tumpah di dalam ruangan sepi sendirian.
Setelah beberapa hari waktu berganti kami baik-baik saja, tak ada yang berubah, masih sama dengan kepribadian kami masing-masing.
Akan tetapi, ada sedikit hal yang mungkin perlahan akan mengubah segalanya. Yaa.. kami sering melakukan hal itu hingga satu minggu tiga kali. Entah apa yang kami pikirkan.
Aku mulai kehabisan uang. Bekal yang di kasih ibu dari kampung sudah habis di pakai makan sehari hari. Kekasihku pun sudah jarang memberi aku makan. Mungkin saat nya aku bekerja.
Aku pikir mencari pekerjaan itu mudah, namun keringat jalan sepanjang hari ini hasilnya sia sia. Tak ku dapatkan satu pun perusahaan kecil yang menerima aku sebagai karyawan. Keadaan ku disini mulai memburuk hingga aku sudah tak mampu tinggal di sini dan memutuskan untuk pulang ke kampung.
"Mas kayanya besok aku mau pulang kampung ke jawa"
"Ya sudah pulang saja dek, tapi mas gak bisa antar kamu pulang dan gak bisa kasih kamu uang karena adek juga tahu sendiri, mas sedang butuh uang banyak. Gaji kerja mas saja habis di pakai kuliah apalagi mas kan sedang menyusun skripsi"
Aku sangat kecewa. Tapi, ya sudah lah aku pun tak dapat memaksa.
Aku bergegas pulang ke kampung halamanku. Bertemu ibu yang luar biasa sumbringah menyambut aku di depan pintu
"Ya Allah ndo, kamu sudah pulang, bagaimana disana enak to kerjanya? nda cape kan, gajimu berapa?? sini sini duduk dulu. Ibu buat kan es teh dulu"
Aku sangat lemas mendengar pertanyaan ibu yang bertubi tubi.
Hampir saja air mata ku menetes namun ibu keburu datang sembari membawa segelas es teh manis
"Di minum dulu nak, ayo ceritakan pada ibumu tentang kehidupanmu disana, sudah tak sabar ibu ingin mendengarkannya" ucap ibuku tersenyum-senyum.
"Aku disana baik baik saja bu, namun untuk bulan ini Erna belum bisa bawa uang. Ibu tahukan, di sana itu biaya hidup Erna banyak sekali, dari mulai tempat tinggal, makan dan lain sebagainya bu. Ya, alhamdulilah Erna bisa mencukupi hidup Erna sendiri, sudah tidak bergantung lagi pada bapak dan ibu. tapi maaf bu..", belum saja selesai aku bicara ibu sudah menyambarnya
"Sudah-sudah nda apa-apa nak, ibu bangga kamu sudah dapat hidup mandiri, ibu tak mengharapkan uangmu nak. Tenang saja jangan meminta maaf. Kita masuk ke dalam tunggu bapakmu pulang dari ladang kita akan makan siang bersama"
Sakit sekali hati ini mendengar ucapan Ibuku.
Bapak pun pulang dan kami makan siang bersama sama. Sepertinya aku tidak jadi meminta uang kepada ibu bapak kasihan mereka, dengan alasan perkerjaan aku buru-buru pamit untuk berangkat lagi.
Aku terus berjuang mencari pekerjaan namun hasil tetap nihil.
Setiap hari, aku dan kekasihku semakin menjadi-jadi melakukan hal yang tidak pantas untuk dilakukan. Tiap setengah tahun aku pulang ke kampung tak pernah bawa uang, hanya meminta dan meminta, kekasihku sekarang mulai berubah disaat tak di beri apa yang dia mau aku di siksanya bagaikan hewan.
Hingga suatu ketika aku hamil dan menggugurkannya di kampung, tetangga-tetanggaku semua tau dan mencibir aku. Ibu dan bapak hanya terus menangis, menahan amarah dan rasa malunya akibat kehamilanku yang tanpa suami. Kekasihku kini pergi jauh entah kemana.
"Erna, kamu disana jadi pelacur ya", teman-teman sekampung menanyakan hal itu.
Aku bukan pelacur karna aku tak di bayar, namun aku memang pelacur karna sering melayani pria.
Depresi ingin bunuh diri rasanya .
Aku berlari ke atas balkon rumahku, menulis sesuatu di kertas biru
"Aku pelacur pribadi, hidupku hancur karena cinta yang tak suci. Ibu, bapak, maafkan aku tak bisa rasanya aku menahan semua ini. Lebih baik aku mati"
Ku simpan surat itu di depan pintu kamar Ibu-Bapak ku, dan aku? sudah terbang bersama dosa yang terus terbayang.
Penulis: Irma Tri Wahyuni
Aaaaa...kereenn! Lanjut maa����
BalasHapusTersusun rapi kata² nya, sukses buat tulisan² selanjutnya
BalasHapusbajingan km Yoga. Seminggu dpt jatah 3 kali
BalasHapusBagus ceritanya, semoga gak ada yang mengalami hal ini. Aamiin.
BalasHapusTerlalu terburu-buru.
BalasHapus