5 Alasan yang Selalu Bikin Kangen sama Bungbulang
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biar pun saya pergi jauh
Tidak akan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mashur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang
Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan
Berada di perantauan selalu tidak mudah. Terutama bagi mereka yang merasa bahwa tempat muasalnya jauh lebih indah.
Tapi apa mau dikata. Tuntutan ekonomi kerap mendesak kita untuk pergi. Tidak hanya untuk sehari dua hari. Lebih sering justru untuk berbulan-bulan, bahkan tahun dan hingga mati.
Meski dalam prosesnya kemudian kita seolah terbiasa, diakui atau tidak, tetap saja, kadangkala, nostalgia tentang kampung halaman kerap datang menghampiri kepala.
Di saat itulah, lagu berjudul Tanah Airku dari Ibu Soed, menjadi terngiang-ngiang mendayu-dayu. Dan meski dinyanyikan secara fals di bibir, di dalam kalbu ia sungguh terasa syahdu.
Maka setiap kali momen itu dirasakan, dalam pengalaman saya, terbayanglah hal-hal berikut tentang Bungbulang :
Saat masih kekar, saya adalah seorang petualang yang tercatat sebagai anggota Pecinta Alam @sabareuma01. Di Bungbulang, hampir tak ada tempat yang belum pernah saya jelajahi. Mulai dari wilayah perkampungan di Sinarjaya, hingga wilayah hutan di Gunung Jampang, seluruhnya pernah saya singgahi.
Naik-turun bukit, berenang di tiap sungai atau mencium aroma ikan asin yang digoreng di rumah-rumah penduduk, semua itu membuat rasa cinta atas tanah air ini mekar di dalam hati.
Dan setelah sekian kota di luar Bungbulang saya kunjungi, mulai dari Jakarta hingga Bali, Pontianak hingga Manokwari, kesimpulannya tetap sama, hanya di Bungbulang-lah saya merasa menjadi diri saya sendiri. Sehingga, saat rindu itu muncul, lagi dan lagi, hanya Leuwi Jubleg, Sungai Cirompang, Situ Cikabuyutan dan lainnya, yang muncul sebagai bayang-bayang kenangan di benak ini.
Ada sebuah seloroh yang pernah diucap teman terkait makanan. Ia mengatakan,"Puncak dari kenikmatan dunia diistilahkan dengan kata yang berakhiran gasme. Manusia di atas usia 17 tahun tentu tahu itu. Dalam makanan, pun sama halnya. Jika kamu berkeringat dan selalu minta tambah porsi, itu artinya kamu mengalami Foodgasme. Puncak kenikmatan dari aktivitas makan".
Mendengar itu, sontak saya teringat pada Babasoan, makanan favorit yang nampaknya berasal dari Bungbulang.
Ya, saya tak pernah mengalami Foodgasme, semahal apapun makanan yang saya santap. Kecuali saat menggasak Babasoan tadi, di sebuah warung sekitar Rajawali, bersama rintik hujan yang seakan tak mau berhenti.
Pukul 6 pagi hari, silakan datang ke Pasar Caringin atau lampu merah sekitar Cimahi. Maka yang diperoleh bukan senyum ramah, melainkan kernyit dahi yang nampak marah, dari mereka yang muak atas macet.
Bandingkan dengan pukul 6 pagi di Bungbulang saat membuka hari, yang diperoleh adalah kicau merdu burung, gemercik air pancuran, wangi tembakau Cap Macan yang dihisap para aki-aki serta senyum ramah tetangga saat hendak memulai kerja.
Dan, ehm. Ini agak menggelikan, tapi akan saya ungkapkan.
Di Bungbulang suatu hari, entah karena saya yang mirip Lee Min Hoo atau memang karena warga Bungbulang yang pada dasarnya someah hade ka semah, tiap kali jalan-jalan, selalu banyak yang memberi senyum saat berpapasan, bahkan hingga saya pegal pipi untuk meladeni. Bayangkan saja, ratusan orang, tersenyum kepada saya, dan tentu ini mesti dibalas, dengan senyum serupa plus dadah-dadah cantik ala Puteri Indonesia, secara sambung menyambung selama 20 menit tanpa jeda .
Lebih dari sekedar ramah, orang-orang Bungbulang juga unik. Unik yang dimaksud terdiri atas beragam aspek, mulai dari karakter hingga nama. Sebagai contoh, saya sebut satu saja yang paling akrab dengan saya, yakni Ajo.
Nama dan karakter unik lain yang diawali dengan Ade, Asep atau Dadang tak akan saya sebutkan. Tapi pasti, atas maksud saya ini, Anda paham kan?
Saya berharap suatu hari kelak bisa menjadi guru SMA. Dan itu tidak di tempat lain selain Bungbulang. Tujuannya dua. Pertama, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, agar selalu bisa sering bertemu wanita.
Kenapa mesti SMA di Bungbulang?
Sebab dalam penilaian saya, muda-mudi cantik hanya bisa ditemukan disana.
Dari setiap 10 wanita Bungbulang, 7 diantaranya pasti bisa jadi selebgram. Apalagi, jika mereka install aplikasi Kamera Jahat di Smartphone-nya. maka Awkarin menjadi tidak ada apa-apanya. Sebab Jumlah Followers dari seorang wanita most wanted dari Bungbulang, sangat bisa mengalahkan jumlah followers Chelsea Islan digabung Raisa sekaligus Nisya Sabyan.
Sebagai contoh, sebut saja Catur Putri Nursetya yang pernah jadi juara 1 kontes Mojang-Jajaka Kategori Remaja Se-Jawa Barat. Jika tak percaya, stalking saja instagram dirinya di @caturputri_nursetya.
Tapi sebelum terlanjur patah hati dan butuh P3K akibat terlampau jauh berharap, dengan kata lain Kabungbulengan dalam istilah Bungbulang, saya himbau Anda untuk bersikap santai. Kecuali bila, sebagai seorang pria, Anda memang termasuk kategori High Class Limited Edition, yang tak kenal istilah pacaran, melainkan siap langsung menemui orangtuanya secara gentleman.
Terakhir, tentu saja Mama-Papa, sebagaimana yang dinyanyikan oleh Ebiet G Ade dalam lagu Titip Rindu Buat Ayah serta yang Iwan Fals senandungkan dalam lagu Ibu. Mustahil bagi kita untuk rindu Bungbulang tanpa pula kangen pada keduanya. Bagaimanapun, merekalah alasan utama kita untuk pulang. Walau kadang, upaya itu mesti dilalui dengan menempuh hujan dan macet sepanjang perjalanan.
Selebihnya, ya teman masa kecil, yang menemani kita bermain di pematang sawah dengan rupa-rupa permainan anak, mulai dari Gatrik, Gobak Sodor, Adu Kelereng, Adu Layangan, selain pula Clash of Clane, Mobile Legend hingga Ngaliwet di pos ronda tengah malam dan main Playstation 1 dengan secara paksa memasang Roberto Carlos sebagai pemain depan.
Walau nasib kita setelah dewasa bisa jadi berbeda-beda. Tapi teman masa kecil, yang membersamai kita saat mengeja Iqra 1 hingga menghapal Juzz Amma, serta memaksa Pak Ustadz untuk membubuhkan tanda-tangan di dalam buku Ramadhan, pasti selalu meninggalkan kesan mendalam di setiap kalbunya insan.
Maka, jika setelah membaca paragraf terakhir ini Anda mendadak kangen Siduru di depan Hawu, mari kita pulang ke Bungbulang. Sebagai diri kita yang tetap seperti dulu, tanpa embel-embel niatan pamer urusan keduniawian. Kecuali sumbangsih, berupa karya nyata demi kemajuan.
Mari berkolaborasi dengan ikut serta mendukung pembangunan kawasan Agro-Techno Park Kandangwesi. Baca selengkapnya di : Bersama Raksa Bumi, Bangun Kandangwesi
Penulis : Orang yang sama dengan orang yang menulis Ekonomi Biru Untuk Kandangwesi Baru serta Penerapan Skema Penta Helix Agar Bungbulang Gak Gini-Gini Aja. Kerap berseliweran di Instagram via akun @prayoga.id.ea
Kan terkenang selama hidupku
Biar pun saya pergi jauh
Tidak akan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mashur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang
Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan
Berada di perantauan selalu tidak mudah. Terutama bagi mereka yang merasa bahwa tempat muasalnya jauh lebih indah.
Tapi apa mau dikata. Tuntutan ekonomi kerap mendesak kita untuk pergi. Tidak hanya untuk sehari dua hari. Lebih sering justru untuk berbulan-bulan, bahkan tahun dan hingga mati.
Meski dalam prosesnya kemudian kita seolah terbiasa, diakui atau tidak, tetap saja, kadangkala, nostalgia tentang kampung halaman kerap datang menghampiri kepala.
Di saat itulah, lagu berjudul Tanah Airku dari Ibu Soed, menjadi terngiang-ngiang mendayu-dayu. Dan meski dinyanyikan secara fals di bibir, di dalam kalbu ia sungguh terasa syahdu.
Maka setiap kali momen itu dirasakan, dalam pengalaman saya, terbayanglah hal-hal berikut tentang Bungbulang :
1. Alamnya yang asri
![]() |
Sumber foto: Faisal Noor Zain |
Naik-turun bukit, berenang di tiap sungai atau mencium aroma ikan asin yang digoreng di rumah-rumah penduduk, semua itu membuat rasa cinta atas tanah air ini mekar di dalam hati.
Dan setelah sekian kota di luar Bungbulang saya kunjungi, mulai dari Jakarta hingga Bali, Pontianak hingga Manokwari, kesimpulannya tetap sama, hanya di Bungbulang-lah saya merasa menjadi diri saya sendiri. Sehingga, saat rindu itu muncul, lagi dan lagi, hanya Leuwi Jubleg, Sungai Cirompang, Situ Cikabuyutan dan lainnya, yang muncul sebagai bayang-bayang kenangan di benak ini.
Baca juga: Pak Ayi Yang Kami Cintai
2. Kulinernya lezat-lezat
Instagram @warung_ubed_ |
Mendengar itu, sontak saya teringat pada Babasoan, makanan favorit yang nampaknya berasal dari Bungbulang.
Ya, saya tak pernah mengalami Foodgasme, semahal apapun makanan yang saya santap. Kecuali saat menggasak Babasoan tadi, di sebuah warung sekitar Rajawali, bersama rintik hujan yang seakan tak mau berhenti.
3. Orangnya ramah-ramah dan unik
![]() |
Sumber: www.travellerkaskus.com |
Bandingkan dengan pukul 6 pagi di Bungbulang saat membuka hari, yang diperoleh adalah kicau merdu burung, gemercik air pancuran, wangi tembakau Cap Macan yang dihisap para aki-aki serta senyum ramah tetangga saat hendak memulai kerja.
Dan, ehm. Ini agak menggelikan, tapi akan saya ungkapkan.
Di Bungbulang suatu hari, entah karena saya yang mirip Lee Min Hoo atau memang karena warga Bungbulang yang pada dasarnya someah hade ka semah, tiap kali jalan-jalan, selalu banyak yang memberi senyum saat berpapasan, bahkan hingga saya pegal pipi untuk meladeni. Bayangkan saja, ratusan orang, tersenyum kepada saya, dan tentu ini mesti dibalas, dengan senyum serupa plus dadah-dadah cantik ala Puteri Indonesia, secara sambung menyambung selama 20 menit tanpa jeda .
Lebih dari sekedar ramah, orang-orang Bungbulang juga unik. Unik yang dimaksud terdiri atas beragam aspek, mulai dari karakter hingga nama. Sebagai contoh, saya sebut satu saja yang paling akrab dengan saya, yakni Ajo.
Nama dan karakter unik lain yang diawali dengan Ade, Asep atau Dadang tak akan saya sebutkan. Tapi pasti, atas maksud saya ini, Anda paham kan?
Baca juga: Ekonomi Biru Untuk Kandangwesi Baru
4. Muda-Mudinya Cakep
![]() |
Instagram: @caturputri_nursetya |
Kenapa mesti SMA di Bungbulang?
Sebab dalam penilaian saya, muda-mudi cantik hanya bisa ditemukan disana.
Dari setiap 10 wanita Bungbulang, 7 diantaranya pasti bisa jadi selebgram. Apalagi, jika mereka install aplikasi Kamera Jahat di Smartphone-nya. maka Awkarin menjadi tidak ada apa-apanya. Sebab Jumlah Followers dari seorang wanita most wanted dari Bungbulang, sangat bisa mengalahkan jumlah followers Chelsea Islan digabung Raisa sekaligus Nisya Sabyan.
Sebagai contoh, sebut saja Catur Putri Nursetya yang pernah jadi juara 1 kontes Mojang-Jajaka Kategori Remaja Se-Jawa Barat. Jika tak percaya, stalking saja instagram dirinya di @caturputri_nursetya.
Tapi sebelum terlanjur patah hati dan butuh P3K akibat terlampau jauh berharap, dengan kata lain Kabungbulengan dalam istilah Bungbulang, saya himbau Anda untuk bersikap santai. Kecuali bila, sebagai seorang pria, Anda memang termasuk kategori High Class Limited Edition, yang tak kenal istilah pacaran, melainkan siap langsung menemui orangtuanya secara gentleman.
5. Mama-Papa dan teman masa kecil ada di sana
![]() |
Sumber: Pixabay |
Selebihnya, ya teman masa kecil, yang menemani kita bermain di pematang sawah dengan rupa-rupa permainan anak, mulai dari Gatrik, Gobak Sodor, Adu Kelereng, Adu Layangan, selain pula Clash of Clane, Mobile Legend hingga Ngaliwet di pos ronda tengah malam dan main Playstation 1 dengan secara paksa memasang Roberto Carlos sebagai pemain depan.
Walau nasib kita setelah dewasa bisa jadi berbeda-beda. Tapi teman masa kecil, yang membersamai kita saat mengeja Iqra 1 hingga menghapal Juzz Amma, serta memaksa Pak Ustadz untuk membubuhkan tanda-tangan di dalam buku Ramadhan, pasti selalu meninggalkan kesan mendalam di setiap kalbunya insan.
Maka, jika setelah membaca paragraf terakhir ini Anda mendadak kangen Siduru di depan Hawu, mari kita pulang ke Bungbulang. Sebagai diri kita yang tetap seperti dulu, tanpa embel-embel niatan pamer urusan keduniawian. Kecuali sumbangsih, berupa karya nyata demi kemajuan.
Mari berkolaborasi dengan ikut serta mendukung pembangunan kawasan Agro-Techno Park Kandangwesi. Baca selengkapnya di : Bersama Raksa Bumi, Bangun Kandangwesi
Penulis : Orang yang sama dengan orang yang menulis Ekonomi Biru Untuk Kandangwesi Baru serta Penerapan Skema Penta Helix Agar Bungbulang Gak Gini-Gini Aja. Kerap berseliweran di Instagram via akun @prayoga.id.ea
Mantaaaap
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya.
HapusHayu siduru di hawu :(
BalasHapusHayu ah ngadu Roberto Carlos
BalasHapusPara intelektual di balik layar, jangan hanya mancing di akuarium, mancinglah di lautan biar lebih tau banyak.
BalasHapusSiap bu. Kita sedang berupaya mencari umpan yang baik dari berbagai tempat supaya bisa mendapatkan ikan paus ketika mancing di lautan.
HapusSip.. mantap!!
HapusPara intelektual di balik layar, jangan hanya mancing di akuarium, mancinglah di lautan biar lebih tau banyak.
BalasHapusNamanya mancing ada istilah dapat dan ngga nya...''moro'' saja, biar hasilnya memuaskan, dan ''moro'' disini saja, di desa kita hehehe
BalasHapusHeuheu.. moro mh zaman purba. Kita mh mengolah hasil SDA kita saja, tak perlu nomaden dgn dalih persediaan alam tdk dapat memenuhi kebutuhan hidup lagi, dan yg lebih penting membuat orang2 bungbulang berintelektual tinggi.
HapusMisal gak dijadikan alat memperkaya bangsa lain (cina) seperti Bojong yg sekarang jadi tambang emas milik cina. Meskipun sebagian org menganggap menghasilkan devisa bagi negara.. hmm.. berapa persenkah yg diberi bangsa asing, hingga dengan bangganya penghasilan negara disebut tinggi?
Padahal makanan yg bikin ksngen tuh basotahu mang daniiii
BalasHapus@setya trisani leres eta teh aya tambang di desa bojong bungbulang abdi mah neme terang?
BalasHapusYang susah saya lupakan ketika merantau adalah nasi goreng buatan ibu yg disajikan setiap hari ketika hendak sekolah, dimasak tanpa blueband tanoa telor tp endolita..
BalasHapusHahaha.....artikel sang jones
BalasHapus