Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bodoh Itu Berkah?

Semesta adalah kumpulan tanda tanya. Penuh tabir, menggoda kita untuk berpikir. Misteri, jawaban-jawaban tersembunyi, di benak kita menjadi nampak begitu seksi. Lantas kemudian, tersebab oleh rasa penasaran, kita cari latar dari setiap fenomena :

Mengapa matahari bersinar? Mengapa ada angin? Mengapa kita kentut? Mengapa garuk selalu cocok bagi gatal? Mengapa kita menguap bila mengantuk? Mengapa langit berwarna biru? Pernah tidurkah ikan? Mengapa Si Icih kesurupan? Kenapa bunga berwarna-warni? Kok bisa dia jadi gay? Kenapa ingus saya asin ketika dijilat? Tetap cantikkah Si Inem ketika BAB? Siapa penciptaku? Untuk apa aku hidup? Dan seterusnya, dan seterusnya. 
Untung Rugi Mengetahui

Bila jawaban dari segenap pertanyaan itu kita dapatkan, kita sebut itu ‘pengetahuan’ (knowledge). Lalu, pasca pengetahuan-pengatahuan yang kita miliki semakin menumpuk, kita klasifikasikan mereka, kita susun secara rapi, lalu tersebutlah itu ‘ilmu’ (science).

Ada banyak kata mutiara, nasihat abadi, ucapan nabi, bait puisi, lagu, pidato, anekdot serta hal-hal lain tentang pentingnya pengetahuan. Tak jarang pula kita temui, para pakar yang kehilangan rambut, anak-anak yang miskin masa bermain, remaja tanpa masa bercinta, mahasiswa yang kurang tidur, negara yang kehabisan anggaran biaya, serta elemen-elemen sosial lain yang rela berkorban, demi satu hal, “pengetahuan”. 

Coba Anda tanya mereka,”Apakah pengetahuan membuat Anda senang?”. Maka mereka akan menjawab dengan anggukan “sok tahu” sambil membenarkan letak kacamata. Akan tetapi, benarkah demikian adanya? Tidakkah pengetahuan itu merupakan benalu? Tidakkah pengetahuan itu adalah beban? Tidakkah pengatahuan itu bikin repot? Mari sama-sama kita pikirkan kembali.

Play…

Saya punya motor, yang ketika di-gas asap knalpotnya bisa membasmi nyamuk sekelurahan. Sebelum saya tahu tentang pemanasan global, saya enjoy mengendarainya. Tapi setelah menonton film The Day After Tomorrow yang berkisah tentang hancurnya bumi oleh emisi gas buang, saya memilih jalan kaki.

Seorang kuli panggul makan dengan lahap di sebuah warteg. Di sebelahnya, berdiri seorang dokter ahli gizi. Ia kelihatan bingung memilah lauk pauk. 

Karena ia tahu bahwa rendang sangat ber-kolesterol, sate kambing bisa memicu hypertensi, sambal jadi penyebab radang usus, kerupuk sama sekali tak mengandung protein, serta jengkol bisa menyebabkan serangan jantung, maka ia tak memakan apapun, dan memilih pergi ke tempat lain, menuju ‘restoran bergizi’, yang jaraknya 342 juta tahun cahaya dengan cara ngesot…kayak di film Suster Push-Up

Orang-orang Eskimo di Kutub Utara didatangi oleh seorang penyebar agama dari Timur Tengah. Olehnya, mereka didakwahi berbagai hal tentang Tuhan, rasul, surga, neraka, pahala, dosa, serta detail-detail lain yang mencengangkan. 

Seusai dakwah selesai, seorang Eskimo mengangkat tangan, hendak bertanya kepada Si Penyebar Agama.

“Sebelumnya, saya sama sekali tak tahu tentang semua itu (maksudnya apa yang didakwahkan). Karena tidak tahu, apakah saya berdosa?”

“Tidak”, jawab Si Penyebar Agama. “Akan tetapi”, lanjutnya. “Karena kini engkau telah tahu, maka bila engkau tidak melaksanakannya, engkau akan berdosa”, kata Si Penyebar Agama sambil mengelus jenggotnya yang sepanjang Anyer-Panarukan… (kebayang kagak?)

“Kalau begitu, kenapa kau malah memberitahukannya padaku. Gara-gara kau, aku jadi terancam dosa”, dengus Si Eskimo tadi sambil melempar bola salju…

Pause…

Dari ketiga contoh diatas, dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan malah membuat kita punya beban. Konon, Aristoteles berulang kali berujar bahwa “semakin aku tahu, semakin aku tak mengerti”. Entah apa yang ia maksud dalam kalimat itu. Tapi yang pasti, kata “tak mengerti” telah cukup menyiratkan kepada kita bahwa “semakin ia tahu, semakin ia merasa tidak enak”.

Waktu..Ya..adalah waktu yang membuat kita jadi semakin tahu. Kian lama, kian banyak yang kita cerna dari semesta. Seiring dengan itu, beban pun semakin menumpuk. Tersebab olehnya, hidup menjadi tak membahagiakan. 

Betapa banyak manusia dewasa yang ingin kembali menjadi anak kecil_menjadi pribadi yang polos, yang hanya tahu Dancow dan adu kelereng. Ketika itu, kita hidup tanpa beban, tanpa tuntutan, we just live for today. Alangkah menyenangkannya hidup yang demikian. “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Kedua dilahirkan, tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua”, bunyi pepatah dari Yunani. Ada benarnya juga….

Sampai disini, tarik nafaslah sejenak, tetap duduk di tempat semula. Kini Anda tahu bahwa berpengetahuan tiada lain adalah bertumpuknya tanggungan beban. Bersyukurlah pada Tuhan atas pengetahuan (eh..maksudnya beban) yang baru saja Anda dapatkan. 

Hilangkan niat untuk putus sekolah. Hilangkan niat untuk membakar buku. Hilangkan niat untuk kabur dari pengajian. Dalam uraian sebelumnya, memang benar bahwa pengetahuan kerap menjadi beban. Akan tetapi, kita belum selesai.

Play…

Seorang pemuda berdiri memandang genangan air keruh, satu-satunya sumber air yang tersisa. Sudah tiga abad hujan tak turun di kampungnya. Orang-orang kekurangan air. Mereka hanya mandi dua kali seumur hidup_ketika baru lahir dan sebelum dikubur. 

Usaha yang bisa mereka lakukan untuk mengumpulkan air hanyalah dengan mengenang masa-masa sedih, supaya mereka bisa menitikkan air mata yang kemudian mereka kumpulkan sehingga cukup untuk mengobati dahaga. 

Atau cara lain yang lebih efektif yakni dengan metode lari siang agar banyak berkeringat, lalu meminum kembali keringat itu.

Di belakang Si Pemuda, berjejer 121 kepala keluarga yang telah sangat frustrasi atas nasibnya. Sebagian bahkan berani menggunjing Tuhan, yang menurut mereka gila karena hobby mengirim derita. 

Akan tetapi, suasana mencekam yang melanda mereka, sontak reda seketika saat Si Pemuda berkata.”Andai aku punya pengetahuan, tentu mampu kuubah air keruh ini menjadi jernih”

Di tempat lain, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik secara progresif. Kini, SPBU Pertamina sudah tak lagi sudi melayani pembelian BBM dalam satuan liter, melainkan tetes. Harga setetes minyak kini sebanding dengan 1 gram emas. 

Karena itulah, unjuk rasa menentang ‘penyesuaian harga” BBM terjadi dimana-mana. Hampir 240 juta warga Indonesia ikut berdemo. Akan tetapi Jono yang sarjana teknik menolak ikut serta. 

Dalihnya ia sedang sibuk. Kontan ia dicap sebagai orang yang kontra revolusi harga. Padahal, selidik punya selidik, ia sedang sibuk memasang rangkaian instalasi biogas. Karena harga minyak sudah tak terjangkau, ia manfaatkan septic tank yang ada di belakang rumahnya sebagai energi alternatif. Dan ini, gara-gara ia seorang sarjana teknik, tersebab ia punya pengatahuan.

Pause..

Selanjutnya, saya rasa Anda tak membutuhkan contoh lain untuk menjelaskan mengapa saya melarang Anda untuk putus sekolah, membakar buku serta kabur dari pengajian. Contoh diatas sudah sangat mewakili. 

Bila di paragraf terdahulu saya menjelaskan bahwa pengetahuan adalah beban, sehingga saya dicurigai sebagai oposan para duta baca, di paragraf barusan saya justru menjelaskan bahwa pengetahuan demikian dibutuhkan, sehingga saya menjadi sekutu bagi mereka_para duta baca. 

Terserah Anda lebih condong kepada argumen yang mana atau barangkali Anda punya argumen lain. Silahkan tulis pada kolom komentar.

Saya ingin fokus dulu menyelesaikan masalah hidup saya. Biasa, perkara cinta. Jadi saya butuh pengetahuan tentang itu. Eh, tapi, bila nanti saya punya banyak pengetahuan tentang cinta, tidakkah itu akan menjadi beban? Saya khawatir orang justru akan berkata,”Pakar cinta kok jomblo”. Padahal kan saya cuma pilih-pilih.

Penulis: Yoga Prayoga. 

Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea

Posting Komentar untuk "Bodoh Itu Berkah?"