Surat Terbuka Untuk Murid-muridku
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi
meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah
yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan
(Khahlil Gibran)
Kesalahan terbesar orang tua atau guru ialah menganggap bahwa anak-anaknya atau murid-muridnya adalah anak-anaknya atau murid-muridnya. Dengan anggapan itu, maka muncul semacam ‘hak’ untuk memiliki sebagian atau keseluruhan dari diri anak tersebut. Bukan hanya sebatas menentukan pantas atau tidaknya pakaian yang dipakai, perkataan yang diucapkan, atau perbuatan yang dilakukan.
Lebih jauh dari itu orang tua atau guru merasa memiliki hak untuk turut mengatur pikiran, jiwa, bahkan hidup mereka. Padahal, seperti yang dikatakan penyair Khahlil Gibran, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Anak-anakmu adalah anak-anak kehidupan yang dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitu pun saya. Sebagai seorang guru, saya kerap menginginkan kalian menjadi seperti ini atau seperti itu. Saya lupa, bahwa kalian pun menginginkan menjadi seperti ini dan seperti itu sesuai dengan selera kalian. Saya lupa, apa yang ‘baik’ dari sesuatu yang saya lihat berbeda dengan apa yang ‘baik’ menurut kalian. Zaman berubah dan segala sesuatu ikut serta di belakangnya.
Namun, benarkah dunia kalian adalah dunia yang sama sekali bebas? Tidak terikat dengan dunia yang lain? Berdiri tersendiri tanpa jalinan dengan dunia sebelumnya dan dunia yang akan datang? Terus-terang saya ragu kalau tak mau menyebutnya tidak setuju.
Dalam kehidupan ini sesungguhnya tak ada yang berdiri sendiri, tak terkecuali dunia kalian. Sama-sama punya latar belakang. Punya sejarah, masa lalu, sakaligus masa depan. Kalian tidak lahir dari bongkahan batu dan hidup menyendiri dalam rimba belantara tak berpenghuni.
Nasi yang kalian makan, air yang kalian minum, pakaian yang kalian kenakan, pengetahuan yang kalian miliki, penghidupan yang kalian jalani, jelas tidak datang dengan sendirinya. Ada tangan-tangan lain yang bekerja di belakangnya. Mereka memberi dan menuntun kalian hingga menjadi seperti sekarang ini.
Memang, pada kenyataannya, pemberian itu bersifat dua macam. Pertama, bersifat dagang. Sedangkan yang kedua, bersifat cinta kasih.
Hubungan dagang merupakan hubungan bebas karena tidak terikat pada hutang budi. Hubungan seperti ini terjalin karena adanya kesepakatan yang saling menguntungkan antara kedua pihak. Kalian membeli sebungkus rokok pada seorang pedagang, meskipun tahu bahwa kalian masih di bawah umur dan mungkin saja uang yang pakai itu seharusnya digunakan untuk membeli buku, pedagang itu tak seharusnya melarang kalian membeli barang dagangannya.
Hubungan cinta kasih berlaku sebaliknya. Orang tua yang melarang merokok, misalnya, atau guru yang menyuruh muridnya bangun saat jam pelajaran berlangsung, bukan hanya karena persoalan ‘rokok’ atau ‘tidur’nya semata, melainkan karena di dalam diri mereka bersemayam cinta kasih akan keberlangsungan hidup kalian sendiri.
Taruhlah, kemudian kalian beralibi, orang tua memelihara kalian karena kewajiban dan tanggung jawabnya dan para guru mengajar karena dibayar. Alasan itu mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi belum tentu benar.
Kalau benar perbuatan mereka memelihara kalian atas nama kewajiban, maka tentu mereka akan melakukannya seperti apa yang mereka terima dari orang tuanya. Apabila orang tua kalian pendidikannya hanya sampai SD, maka kewajiban mereka terhadap kalian tidak akan lebih tinggi dari itu. Kenyataannya, mereka melakukan lebih dari apa yang diterimanya dahulu. Kelebihan itulah yang dinamakan cinta.
Begitu pula dengan para guru. Boleh saja kalian beranggapan bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari tugasnya dan mereka mendapat uang sebagai imbalannya. Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang menyuruh kalian banyak membaca buku-buku bermutu. Guru-guru yang berseru-seru mengajak kalian belajar berorganisasi. Guru-guru yang mendorong-dorong kalian untuk masuk ke perguruan tinggi, apakah itu juga merupakan bagian dari pekerjaannya agar mereka mendapat imbalan?
Sebagai jawabannya, mari sejenak berandai-andai. Seandainya setelah kalian membaca buku, berlatih organisasi, atau masuk perguruan tinggi-kemudian menjadi menteri, dokter, atau pengusaha kaya, guru-guru itu akan mendapat imbalan dari kemajuan atau kesuksesan yang kalian peroleh. Jawabannya, pasti TIDAK. Sekadar, ucapan terima kasih pun belum tentu mereka terima.
Walau demikian, saya teramat yakin, baik orang tua atau pun guru tidak akan pernah berkecil hati andai kata diperlakukan seperti itu. Mereka tidak akan pernah mengajukan kalian ke pengadilan karena lupa membalas budi. Mereka memberi kalian cinta dan cinta sejati tak pernah menuntut apa-apa.
Ibarat menanam sebatang pohon. Sesungguhnya pohon itu bukan untuk diri sendirinya, melainkan diperuntukkan bagi anak cucunya kelak. Yang mereka lakukan ialah hasil belajar dari masa lalu dan melihat masa depan.
Mereka sadar, bahwa rumah yang mereka tempati; papan kayunya, bilik bambunya, segalanya berasal dari pohon yang ditanam oleh nenek moyangnya, generasi sebelumnya. Oleh karena itu, mereka pun berbuat hal yang sama bagi generasi sesudahnya. Mereka tidak berdagang. Mereka hanya belajar membalas budi. Belajar menjadi manusia yang tahu diri.
Begitu pula bangsa ini, negara ini, masyarakat ini, zaman ini; generasi mudanya berutang budi pada generasi sebelumnya. Generasi tualah yang telah membuka jalan bagi kemerdekaan dan kebebasan yang kita cicipi dan nikmati saat ini.
Merekalah yang menghindarkan kita dari moncong senapan bangsa lain. Merekalah yang menghindarkan kita dari tanam paksa dan kerja rodi yang tak berperikemanusiaan. Merekalah yang menghindarkan kita dari peperangan dan pembunuhan yang membinasakan. Merekalah yang menghadirkan masa gilang-gemilang ini, hingga kita dapat menikmatinya dengan santai (bahkan sekadar mengangkat tangan atau berdiri tegak dalam upacara bendera pun kita sudah merasa kita enggan).
Meskipun kita tahu, bahwa mereka-generasi tua itu, orang tua kita, guru-guru kita, tidak akan menuntut jasa atau pengorbanan yang dilakukannya. Namun, sesungguhnya harga manusia diukur dari sejarah dan cara merperlakukannya. Mereka yang tak menghormati sejarahnya adalah manusia berjiwa kerdil.
Kasalahan terbesar saya ialah karena saya (juga) memiliki rasa cinta itu. Padahal, cinta dapat membutakan mata dan pikiran. Begitulah sabda sang bijaksana. Di zaman sekarang, bahkan cinta yang paling murni sekalipun harus menimbang realita. Karena itu, saya tidak berhak marah pada kalian yang menguap seenaknya saat jam pelajaran (sekalipun itu berarti pelestarian kebodohan) atas nama hak asasi dan kemanusian.
Saya lupa, anak-anakku bukan anak-anakku. Murid-muridku bukan murid muridku. Hidup kalian adalah milik kalian, maka bersenang-senanglah di dalamnya. Reguk dan nikmati sepuas-puasnya. Selagi kalian dapat mengunci hati nurani. Tidurlah dengan nyenyak saat pelajaran berlangsung, lupakan bagaimana bapak ibu kalian pada saat yang sama tengah bermandi keringat agar kalian dapat sekolah.
Sia-siakanlah guru-guru yang datang dan gerutuilah mereka yang memilih pulang. Hapuslah jejak pemikirannya yang membuat kalian berani berdiri menantangnya. Buanglah jauh-jauh segala petuah, nasehat, dan khotbah-khotbah itu. Dunia ini duniamu, milikmu. Sesaplah sepuasnya, sehabis-habisnya.
Saya sendiri akan (kembali) berumah di angin. Membangun gubuk kecil di tengah keluasan padang atau di tepian danau berair tenang. Sesekali bermunajat kepada Sang Kuasa agar dikirimkan satu-dua satria yang masih mau mengolah pikir dan rasa. Keluar dari hiruk-pikuk pesta pora para raksasa.
Penulis: Apip Kurniadin
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi
meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah
yang hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan
(Khahlil Gibran)
Lebih jauh dari itu orang tua atau guru merasa memiliki hak untuk turut mengatur pikiran, jiwa, bahkan hidup mereka. Padahal, seperti yang dikatakan penyair Khahlil Gibran, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Anak-anakmu adalah anak-anak kehidupan yang dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitu pun saya. Sebagai seorang guru, saya kerap menginginkan kalian menjadi seperti ini atau seperti itu. Saya lupa, bahwa kalian pun menginginkan menjadi seperti ini dan seperti itu sesuai dengan selera kalian. Saya lupa, apa yang ‘baik’ dari sesuatu yang saya lihat berbeda dengan apa yang ‘baik’ menurut kalian. Zaman berubah dan segala sesuatu ikut serta di belakangnya.
Namun, benarkah dunia kalian adalah dunia yang sama sekali bebas? Tidak terikat dengan dunia yang lain? Berdiri tersendiri tanpa jalinan dengan dunia sebelumnya dan dunia yang akan datang? Terus-terang saya ragu kalau tak mau menyebutnya tidak setuju.
Dalam kehidupan ini sesungguhnya tak ada yang berdiri sendiri, tak terkecuali dunia kalian. Sama-sama punya latar belakang. Punya sejarah, masa lalu, sakaligus masa depan. Kalian tidak lahir dari bongkahan batu dan hidup menyendiri dalam rimba belantara tak berpenghuni.
Nasi yang kalian makan, air yang kalian minum, pakaian yang kalian kenakan, pengetahuan yang kalian miliki, penghidupan yang kalian jalani, jelas tidak datang dengan sendirinya. Ada tangan-tangan lain yang bekerja di belakangnya. Mereka memberi dan menuntun kalian hingga menjadi seperti sekarang ini.
Memang, pada kenyataannya, pemberian itu bersifat dua macam. Pertama, bersifat dagang. Sedangkan yang kedua, bersifat cinta kasih.
Hubungan dagang merupakan hubungan bebas karena tidak terikat pada hutang budi. Hubungan seperti ini terjalin karena adanya kesepakatan yang saling menguntungkan antara kedua pihak. Kalian membeli sebungkus rokok pada seorang pedagang, meskipun tahu bahwa kalian masih di bawah umur dan mungkin saja uang yang pakai itu seharusnya digunakan untuk membeli buku, pedagang itu tak seharusnya melarang kalian membeli barang dagangannya.
Hubungan cinta kasih berlaku sebaliknya. Orang tua yang melarang merokok, misalnya, atau guru yang menyuruh muridnya bangun saat jam pelajaran berlangsung, bukan hanya karena persoalan ‘rokok’ atau ‘tidur’nya semata, melainkan karena di dalam diri mereka bersemayam cinta kasih akan keberlangsungan hidup kalian sendiri.
Taruhlah, kemudian kalian beralibi, orang tua memelihara kalian karena kewajiban dan tanggung jawabnya dan para guru mengajar karena dibayar. Alasan itu mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi belum tentu benar.
Kalau benar perbuatan mereka memelihara kalian atas nama kewajiban, maka tentu mereka akan melakukannya seperti apa yang mereka terima dari orang tuanya. Apabila orang tua kalian pendidikannya hanya sampai SD, maka kewajiban mereka terhadap kalian tidak akan lebih tinggi dari itu. Kenyataannya, mereka melakukan lebih dari apa yang diterimanya dahulu. Kelebihan itulah yang dinamakan cinta.
Begitu pula dengan para guru. Boleh saja kalian beranggapan bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari tugasnya dan mereka mendapat uang sebagai imbalannya. Lalu, bagaimana dengan guru-guru yang menyuruh kalian banyak membaca buku-buku bermutu. Guru-guru yang berseru-seru mengajak kalian belajar berorganisasi. Guru-guru yang mendorong-dorong kalian untuk masuk ke perguruan tinggi, apakah itu juga merupakan bagian dari pekerjaannya agar mereka mendapat imbalan?
Sebagai jawabannya, mari sejenak berandai-andai. Seandainya setelah kalian membaca buku, berlatih organisasi, atau masuk perguruan tinggi-kemudian menjadi menteri, dokter, atau pengusaha kaya, guru-guru itu akan mendapat imbalan dari kemajuan atau kesuksesan yang kalian peroleh. Jawabannya, pasti TIDAK. Sekadar, ucapan terima kasih pun belum tentu mereka terima.
Walau demikian, saya teramat yakin, baik orang tua atau pun guru tidak akan pernah berkecil hati andai kata diperlakukan seperti itu. Mereka tidak akan pernah mengajukan kalian ke pengadilan karena lupa membalas budi. Mereka memberi kalian cinta dan cinta sejati tak pernah menuntut apa-apa.
Ibarat menanam sebatang pohon. Sesungguhnya pohon itu bukan untuk diri sendirinya, melainkan diperuntukkan bagi anak cucunya kelak. Yang mereka lakukan ialah hasil belajar dari masa lalu dan melihat masa depan.
Mereka sadar, bahwa rumah yang mereka tempati; papan kayunya, bilik bambunya, segalanya berasal dari pohon yang ditanam oleh nenek moyangnya, generasi sebelumnya. Oleh karena itu, mereka pun berbuat hal yang sama bagi generasi sesudahnya. Mereka tidak berdagang. Mereka hanya belajar membalas budi. Belajar menjadi manusia yang tahu diri.
Begitu pula bangsa ini, negara ini, masyarakat ini, zaman ini; generasi mudanya berutang budi pada generasi sebelumnya. Generasi tualah yang telah membuka jalan bagi kemerdekaan dan kebebasan yang kita cicipi dan nikmati saat ini.
Merekalah yang menghindarkan kita dari moncong senapan bangsa lain. Merekalah yang menghindarkan kita dari tanam paksa dan kerja rodi yang tak berperikemanusiaan. Merekalah yang menghindarkan kita dari peperangan dan pembunuhan yang membinasakan. Merekalah yang menghadirkan masa gilang-gemilang ini, hingga kita dapat menikmatinya dengan santai (bahkan sekadar mengangkat tangan atau berdiri tegak dalam upacara bendera pun kita sudah merasa kita enggan).
Meskipun kita tahu, bahwa mereka-generasi tua itu, orang tua kita, guru-guru kita, tidak akan menuntut jasa atau pengorbanan yang dilakukannya. Namun, sesungguhnya harga manusia diukur dari sejarah dan cara merperlakukannya. Mereka yang tak menghormati sejarahnya adalah manusia berjiwa kerdil.
Kasalahan terbesar saya ialah karena saya (juga) memiliki rasa cinta itu. Padahal, cinta dapat membutakan mata dan pikiran. Begitulah sabda sang bijaksana. Di zaman sekarang, bahkan cinta yang paling murni sekalipun harus menimbang realita. Karena itu, saya tidak berhak marah pada kalian yang menguap seenaknya saat jam pelajaran (sekalipun itu berarti pelestarian kebodohan) atas nama hak asasi dan kemanusian.
Saya lupa, anak-anakku bukan anak-anakku. Murid-muridku bukan murid muridku. Hidup kalian adalah milik kalian, maka bersenang-senanglah di dalamnya. Reguk dan nikmati sepuas-puasnya. Selagi kalian dapat mengunci hati nurani. Tidurlah dengan nyenyak saat pelajaran berlangsung, lupakan bagaimana bapak ibu kalian pada saat yang sama tengah bermandi keringat agar kalian dapat sekolah.
Sia-siakanlah guru-guru yang datang dan gerutuilah mereka yang memilih pulang. Hapuslah jejak pemikirannya yang membuat kalian berani berdiri menantangnya. Buanglah jauh-jauh segala petuah, nasehat, dan khotbah-khotbah itu. Dunia ini duniamu, milikmu. Sesaplah sepuasnya, sehabis-habisnya.
Saya sendiri akan (kembali) berumah di angin. Membangun gubuk kecil di tengah keluasan padang atau di tepian danau berair tenang. Sesekali bermunajat kepada Sang Kuasa agar dikirimkan satu-dua satria yang masih mau mengolah pikir dan rasa. Keluar dari hiruk-pikuk pesta pora para raksasa.
Penulis: Apip Kurniadin
Posting Komentar untuk "Surat Terbuka Untuk Murid-muridku"