Selagi Masih Ada Kesempatan
Dalam riwayat mereka yang disebut 'pahlawan', kerap kali kita lihat ‘cacat’, baik itu satu, beberapa atau bahkan puluhan ‘cacat’ yang cenderung mereka lakukan di masa jelang akhir hayat.
Mereka yang pada awalnya dipandang sangat ideal di mata banyak orang, pada satu waktu justru mengundang kecewa besar, terkesan menjadi pendusta, pembelot, atau penjilat ludah, karena secara tak disangka, tega mengkhianati idealismenya sendiri.
Umumnya, yang kita persepsikan sebagai 'pahlawan' adalah ia yang nihil dari kesalahan. Tapi, apakah benar bahwa ada manusia yang semacam demikian? Dalam seri Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad menjawabnya,”Tak ada....”. Ia berpendapat demikian, sebab baginya, mustahil manusia bisa berbuat benar di setiap kesempatan.
Well, tersebab tak ada manusia yang sempurna, lantas layakkah mereka, yang pada awalnya dipandang ideal tapi kemudian membelot tetap disebut pahlawan? Goenawan menjawab,“Layak”, sambil menambahkan bahwa yang ia persepsikan sebagai pahlawan ialah mereka yang berbuat benar (meski hanya) pada satu kasus yang menghadapkan dirinya pada sebuah pilihan atas kepentingan pribadi atau kepentingan banyak orang.
Oleh karena itu, Soekarno layak menjadi pahlawan, karena ketika baru lulus sebagai insinyur justru rela berkorban demi kepentingan pribumi dibanding menerima tawaran untuk bekerja pada pihak kolonial, terlepas dari kesalahan apa yang ia lakukan pada masa kemudian.
Begitu pula dengan Semaun atau Kartosuwiryo. Mereka layak disebut pahlawan, karena di usianya yang masih muda telah berani menentang pemerintah kolonial Belanda, meski kesempatan untuk menjadi pegawai gubermen atau kacung Belanda demikian terbuka, terlepas bahwa di kemudian hari mereka dicap sebagai ekstrimis oleh yang pro terhadap Republik.
Bukan hanya itu, dalam sudut pandang ini, bahkan keluarga anda, teman anda, atau pula orang yang sama sekali tak anda kenal, asalkan pernah rela mengorbankan dirinya ketika anda membutuhkan, sangatlah layak untuk disebut sebagai pahlawan (meski tentu tak berarti pula memerlukan bintang jasa dari negara), terlepas bahwa di hari ini, dia justru jadi koruptor, atau pencopet, atau garong, atau pemerkosa atau tukang santet sekalipun.
Dalam uraian diatas, Goenawan mencoba berbagi pandangan atau dengan kata lain menasehati, agar kita tetap menghargai jasa mereka, yang meski tak selalu, tapi pernah berbuat sesuatu yang berdimensi heroik, baik bagi diri kita pun juga banyak orang.
Namun demikian, nan hendak saya bicarakan lebih jauh disini bukan hanya soal kepahlawanan, melainkan pula kecenderungan mereka untuk berubah, membelot, menjilat ludah, alias melenceng dari idealisme yang pada awalnya mereka pegang teguh tanpa goyah oleh godaan.
Ada banyak spirit superhero yang bersemayam di jiwa mereka yang masih hijau, baik itu dalam diri mahasiswa atau bahkan anak SMA- tapi sumpah deh, yang alay apalagi cabe-cabean tak termasuk kategori ini.
Spirit superhero yang dimaksud kerap khalayak sebut sebagai idealisme : suatu bentuk penjunjungan nilai-nilai etis, nilai-nilai kebenaran, atau ide-ide tentang kesemestian.
Ungkapan-ungkapan idealisme tersebut dapat kita lacak dalam buku harian Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie (atau pula tokoh lain yang saya belum tahu), berisi tentang kritik, optimisme, serta kegalauan atas realitas.
Catatan Seorang Demonstran, misalnya, memuat tulisan Gie yang mengkritik seorang guru. Guru yang dimaksud ialah guru yang merasa benar sendiri, dan mengganggap murid-muridnya seperti kerbau. Padahal bagi Gie, kesemestian seorang guru adalah egaliter.
Dalam tulisan lain, Gie juga mengungkapkan optimisme, yang kurang lebih bahwa “Kita adalah generasi penerus yang akan mensejahterakan Indonesia” atau, pada kesempatan yang sejenis, ia keluhkan keprihatinannya ketika melihat “Seorang miskin memungut makan di tempat sampah, sementara presiden hidup enak bersama para perempuannya”.
Jiwa yang idealis amat rindu pada kesemestian. Dan ketika realitas (yang ada) tak sebanding lurus dengan idealitas (yang semestinya), mereka gelisah, berontak, mengkritik, berusaha merubah keadaan.
Dengan kata lain yang bernada meledek,”Mereka sok kritis, sok ingin jadi pahlawan, sok peduli rakyat miskin, sok anti KKN”. Tapi sesungguhnya, semangat perlawanan itu memang muncul bukan karena “sok”, tapi murni panggilan hati.
Dan karena jiwa semacam ini biasanya bersemayam dalam diri mereka yang masih muda, maka sangat jarang sekali kita saksikan pemberontakan, atau setidaknya unjuk rasa dari para ‘tua bangka’.
Lantas kemudian, ada satu hal yang patut kita pertanyakan kini, "Oleh sebab apakah idealisme cenderung hanya ada dalam diri mereka yang masih muda?" Jawabnya ialah : bukan lagi merupakan rahasia umum bahwa idealisme memang kerap luntur lantaran umur.
Beberapa mantan mahasiswa yang mengaku (pernah jadi) aktivis, sebagaimana yang sering kita saksikan di televisi, hari ini justru membuang jauh-jauh idealismenya. Mereka berubah jadi permisif terhadap segala perbuatan yang salah. Puluhan jargon luhur yang dulu kerap dilontarkan, kini redam oleh kalimat,”Realistis sajalah...”. Mereka jadi pembelot kini, ‘penjilat ludah’, pengkhianat, atau istilah apapun yang terkutuk.
Saya tak tahu, akan seperti apa jadinya Gie dan Ahmad Wahib andai mereka tak wafat sebelum berkepala tiga, andai usia mereka agak lebih panjang hingga tak lagi muda. Tapi bila kita lihat kecenderungan semacam tadi, tidak menutup kemungkinan bahwa seiring beranjak tua, mereka juga akan “realistis”.
Hal ini (lunturnya idealisme), dalam pandangan saya tak selalu dipicu oleh mereka nan jauh, melainkan oleh mereka nan dekat, yakni orang tua, kekasih, atau pula anak. Seidealis apapun seseorang, tapi kenyataan bahwa ia menganggur dan orang tuanya prihatin akan memaksa ia untuk menyogok pejabat negara agar bisa jadi Pegawai Negeri, misalnya.
Atau ketika sang isteri butuh dana arisan yang jutaan, sementara gaji sang suami yang idealis hanya cukup untuk makan mie ayam setahun 14 kali, maka hal ini akan memaksa ia untuk ‘menelan uang kantor’.
Bukan hanya terhadap Gie pun Ahmad Wahib, bahkan terhadap diri saya sendiri, saya tak yakin bahwa saya bisa tetap idealis, seperti yang saya akui secara agak sombong selama ini. Bisa jadi, kelak saya justru lebih korup dari koruptor yang saya kutuk habis hari ini. Dan terhadap para mahasiswa yang mungkin akan menentang tindakan saya yang koruptif itu, bisa jadi akan saya lakukan tindakan paling keji yang tak pernah diktator lain lakukan pada masa sebelumnya.
Saya tak tahu. Saya tak bisa menjamin. Saya tak kuasa memastikan bahwa idealisme yang seperti iman atau lilin yang nyala di dalam batin ini akan tetap selalu bersinar. Sesekali nyalanya pasti akan redup.
Tapi semampu bisa akan saya pelihara ia agar tak lantas sirna. Terlepas dari usaha pemeliharaan itu, andai bila idealisme ini dicincang habis oleh realita yang kejam, kemungkinan baginya untuk sirna tetaplah ada.
Tapi setidaknya, di atas segala kemungkinan untuk menjadi bajingan, sebelum masa itu datang, patut rasanya saya korbankan masa muda yang bebas beban ini untuk suatu perbuatan, yang mudah-mudahan memberi manfaat bagi banyak orang. Bukan hanya untuk sesaat, melainkan untuk selama-lamanya.
Seperti pandangan Goenawan tentang 'pahlawan', bagi saya lebih baik pernah daripada tidak sama sekali. Muda idealis tapi tua realistis masih jauh lebih baik daripada muda hedonis dan tua oportunis. Meminjam syair Chairil,”Sekali berarti, setelah itu mati”, baik mati sesungguhnya, pun juga mati idealismenya...
Penulis: Yoga Prayoga
Posting Komentar untuk "Selagi Masih Ada Kesempatan"