Sakabaca Punya Cerita
Siang hari, dalam ruangan kelas yang sumpek dengan pelajaran ekonomi membuat pusingku menjadi-jadi. Dapat kupastikan hanya 10 % dari semua materi yang masuk, sisanya? Sengaja berimajinasi. Imajinasi tentang bagaimana pelajaran yang akan ku tempuh sebentar lagi.
Bel pulang sekolah yang dinantikan telah tiba, segeralah aku keluar kelas dan mencari tempat pelarian yakni ke sekitaran mesjid sekolah.

“Rin ikut gak?” Tanya Lusi.
“Bingung” jawabku datar.
“Ikutlah! Masa gak ikut”
Teman-teman yang lain juga merayakan aku untuk ikut. Aku mencoba menimang-nimang, bingung, ragu, dan takut campur aduk dalam benakku.
Takut tidak kuat di jalan, takut menyusahkan orang lain, tapi di sisi lain juga takut kehilangan pengalaman yang bakal mengesankan. Tanpa pikir panjang kali lebar, aku putuskan untuk ikut dalam perjalanan menuju Sakabaca.
Setelah sholat Zuhur kemudian mengganti baju, kami rombongan dengan dipimpin oleh guru kami pak Apip, memulai perjalanan dengan segenap persiapan yang telah dilakukan.
Aku bersama 2 orang temanku tertinggal rombongan, dengan petunjuk dari waga setempat untunglah kami dapat dengan mudah menyusul rombongan depan. Di ujung jalan yang bagus, tampak berpetak-petak sawah di depan mata kami yang akan kami leawati.
“Sialan, pakaian yang aku kenakan besar, karena tidak sesuai dengan rute perjalanan yang akan ku tempuh”.
Dalam hatiku menyesal, tapi mau bagaimana lagi pasrah sajalah. Di awal perjalanan tampak semuanya biasa saja belum ada tanda-tanda kelelahan, langkah demi langkah bergerak cepat, cekatan pula posisiku yang terbelakang mencoba perlahan tak lain hanya untuk menyimpan energi karena ku tahu perjalanan masih panjang.
Datar, agak naik, naik, agak menurun, menurun, datar lagi, terus saja begitu. Hebat sekali mereka barisan depan semakin lama semakin cepat saja jalannya, atau mungkin kami terbelakang yang semakin lambat langkahnya?.
Entah sudah sudah berapa puluh petak sawah yang kami lewati, naik turun tebing, menyebrangi sungai-sungai kecil yang tampak menyendiri dan tenang.
Tiap kali berhasil menaiki tebing yang terjal, aku selalu berdiri mematung sejenak, ketika kali pertama ku langkahkan kaki ini gaya gravitasi Bumi seperti brtambah dan membuat kaki ini enggan untuk melangkah berjalan menyusul barisan terdepan nan jauh disana.
Kerap kali aku memarahi diriku sendiri mengapa diri ini begitu lemah, masa sedikit –sedikit duduk, sedikit-sedikit minum, tapi temanku terus menguatkanku dengan omongannya yang nyerocos bak ibu-ibu di pasar amat ahli dalam menawar.
Tapi barisan terbelakang ini ketinggalan maka barisan terdepan akan menunggu sambil istirahat. Lalu ketika kami, barisan terbelakang tiba maka perjalanan dilanjutkan kembali.
Baru saja kami duduk, meluruskan kaki kami, memijit-mijit tempurung lutut, dan menyeka pelu dahi, mereka barisan terdepan sudah melaju dengan kecepatan langkahnya yang fantastis.
Tak lama wujud mereka di telan rimbunan pepohonan. Bila mereka sempat terlalu jauh dan kami kehilangan. Kami barisan terbelakang akan mengisyaratkan diri kami dengan teriakan atau tepuk tangan. Mengasyikkan sekali seperti dalam film petualangan saja.
Suatu waktu teman kami menemukan buah manga yang sudah berjatuhan. Indra penciuman dan penglihatannya memang lebih dari yang dalam hal urusan pangan.
Satu per satu dia ambil dengan penuh semangat, mugkin dalam hatinya merasa paling beruntung. Selain buah mangga, ada juga cabai. Aneh sekali dilahan yang kering akibat musim kemarau musim kemarau ini, Tuhan masih saja menyelipkan sumber daya alam bagi kami.
“Weyy, ada air, ada air” dengan girangnya temanku memberi tahu, aku pun ikut bahagia. Belum pernah aku bahagia ini tak kala melihat air sungai yang mengalir tepat saat sedang lelah-lelahnya. Kuambil air itu dan ku basuhkan ke tangan yang tadi sempat terkena duri tajam, lumayan perih juga.
Semak belukar, dahan-dahan pohon menghalangi, dan daun erring yang berserakan. Semakin menyulitkanku untuk berjalan lebih jauh lagi.
“Kalau seperti ini, dunia terasa luas? Satu jam terasa lama sekali, dibandingkan dirumah main Handphone, satu jam gak kerasa, sampai-sampai lupa waktu” kata temanku.
“Betul itu, enggak tahu betul realita dunia yang belum kita alami, kita hanya menggenggam dunia kita” sahutku, aku menengadah ke langit yang membentang luas.
Sudah lama kami berjalan dengan rute perjalan yang berat, akhirnya tiba juga kami pada jalan setapak yang kiri-kanannya rumah warga. “Walaupun masih lama, jika jalannya seperti ini_siapa takut.”
Dalam hatiku, gang-gang sempit kami lewati, ku perhatikan halaman rumah-rumahnya bersih. Napasku yang tadinya tak beraturan karena jalan yang minta ampun, kini bernapas lega, senyumku mengembang tatkala mereka barisan terdepan kini menyatu dengan barisan terbelakang, dua orang temanku yang di barisan terbelakang bersamaku tak hentinya berceloteh.
Aku pun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Habis berceloteh mereka bernyanyi riang, untuglah telingaku sudah kebal suara mereka.
"Yeee jalan raya…” seru temanku. Bahagianya melihat jalan raya dimana kami bisa menjumpai warung untuk orang berduit. Tiba-tiba seorang dengan mengendarai motor, berhenti di depan kami masih barisan terbelakang, ia menawarkan tumpangan motornya, sebenarnya melanjutkan perjalan berjalan kaki bersama dengan temanku.
Sayangnya aku sudah tidak kuat lagi untuk berjalan kaki, apa boleh buat akupun menerima tawaran itu. Maafkan aku teman-teman jika dibuat iri olehku. Sepeda motor itu melaju deras melewati rumah-rumah di pinngir jalan raya.
Tak perlu waktu lama, sampailah aku di perpustakaan Sakabaca, sebuah perpustakaan yang didirikan oleh pemuda-pemuda keren dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ku tengok ada banyak buku-buku berbaris rapih pada rak. Aku duduk menunggu pasukan-pasukan yang tengah semangat ’45 itu datang.
Setelah mereka datang dan berkumpul kami pun bergegas untuk ke mesjid terdekat. Ketika pertama kali masuk, masjid itu cukup luas terasa nyaman sekali ketika duduk lalu meluruskan kaki yang pegal, rasanya ingin merebahkan diri di atas sajadah mengistirahatkan tubuh yang lelah.
Tenang, sepi, hanya ada suara dari gerakan orang-orang yang tengah sholat ashar. Sebuah buku catatan berhasil membuatku penasaran, ku buka buku itu. Isinya terdapat dua kalimat yang membuatku tersenyum-senyum sendiri nyaris seperti orang gila. Kiranya begini:
“Tuhanku andaikan aku punya sayap seperti malaikat, akan ku pakai sayapku terbang bersamamu dari dunia ini.”
“Aku ingin tahu, sebenarnya kehidupan perempuan itu bagaimana?”
Sesudah sholat kami kembali ke Sakabaca, obrolan santai terjalin menjelang magrib. Maghrib disana waktu munculnya awan yang turun melayang dekat kepermukaan tanah, seperti ia mengintip ingin bergabung dengan Sakabaca.
Entah mengapa kabut selalu menarik untuk dilihat. Beranjak malam semakin bertambah pemuda-pemuda yang bertandang ke Sakabaca. Riuh rendah mereka berbincang-bincang di temani secangkir kopi di tambah dengan asap tipis yang masih mengepul ke atas.
Sungguh, mungkin gambaran percis orang melayu yang menyeruput segelas kopi yang menghangatkan sampai larut malam seperti yang digambarkan oleh Andrea Hirata.
Ada juga pemuda-pemudi yang tenggelam dalam buku yang dibaca sehingga mata sibuk hilir mudik untuk membaca, sungguh pemandangan yang langka yang ku temukan di tempat tinggalku.
Aku belum melihat empunya/tuan rumah Sakabaca, Kang Ahsanu sedari tadi, katanya dia belum pulang dari pertandingan sepak bola. Ketika kami berkumpul sambil menunggu tuan rumah itu datang kami di minta untuk memperkenalkan diri masing-masing.
Ditengah-tengah pembicaraan tiba-tiba tuan rumah itu datang lengkap dengan seragam sepak bola layaknya pemain bola sungguhan. Malam semakin pekat, namun Sakabaca masih tetap ramai.
Pemuda-pemuda asing itu mengepak buku-buku untuk acara besok, ‘Lipest 2’, sementara kami dengan tidak tahu dirinya, malah bersenda gurau sampai tertawa terpingkal-pingkal ada juga yang makan-makan da nada juga yang sudah tertidur.
Senda gurau kami semakin malam semaki hambar, mungkin terlalu lelah. Kami pun memilih diam dan menunggu kedatangan mobil yang akan mengantarkan kami ke Gor desa.
Dengan sabar kami menunggu, lama kelamaan mobil itu datang dan berhasil membuat mata kami yang semula terkantuk-kantuk seketika terbuka lebar.
Pukul sepuluh malam dalam perjanan pulang, angin dingin terasa menusuk, dijalan tanjakkan kapten, kami dibuat takjub melihat pemandangan kerlap-kerlipnya lampu-lampu rumah. Tak di sangka desa Bungbulang ternyata sudah merangkak menuju kekotaan.
Karya: Arini Wijayanti (Jurnalistik SMAN 7 Garut)
Tulisan yang memukau Kak. .......
BalasHapus