Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rubik dan Persoalan Sosial

Sebuah rubik amat sulit untuk dibuat rapi. Menyamakan warna di keempat sisi yang berbeda , nyatanya tak semudah menyatakan cinta atau menjawab soal-soal ujian, sebab ketika satu warna kita susun dalam deret yang serupa, warna lain membentuk berantak nan sarat acak di ketiga sisi yang lainnya.

Barangkali, seperti itu pula sistem sosial, yang erat kaitannya dengan kebijakan, si biangnya perubahan. Ibarat rubik, sulit benar untuk disusun teratur. Rubik saja yang benda mati membuat kita mati-matian untuk menyusunnya. 

Apalagi ini yang sosial, nan terdiri dari sekian juta macam isi kepala, yang pintanya beragam macam pula. Mati-matian saja rasanya tak cukup untuk bisa mengaturnya.

Rubik dan Persoalan Sosial

Maksudku, menyambung paragraf terdahulu, manakala satu perkara diselesaikan, perkara yang lain datang menyusul. Sebagai umpama : Walikota bete dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang bikin sesak jalan raya. Lalu, ditertibkanlah mereka (sebagai penghalusan dari kata ‘digusur’). Setelah itu, ia pusing memikirkan pengangguran.

Umpama lain : Sebuah desa resah dengan minimnya pembangunan. Jalan rusak tanpa kelola, listrik masih jadi angan-angan, sekolah roboh tanpa renovasi, Puskesmas kumuh bak kandang babi, dan sebagainya, dan sebagainya. Lantas, digelontorkanlah dana pembangunan. 

Fulus mengalir sampai jauh, sampai pada bendahara desa. Jalan jadi mulus, pemukiman terang benderang, sekolah menjadi megah, pukesmas berubah menjadi mewah. Dan tanpa ketinggalan, tempat hiburan malam pun mendadak bermunculan. Setelah semua itu, hedonisme jadi persoalan baru : Rumah ibadat jadi rumah hantu, miras berseliweran, putaw beterbangan, free sex merebak-sebar, dan seterusnya, dan seterusnya.

Sungguh, ini jalan, tiada ujung pengakhiran. Satu sembuh, sejuta menggejala. Satu pintu kita buka, seribu pintu menghadap muka. Masalah pangkat satu, masalah pangkat dua, masalah pangkat tiga, lanjut, lanjut, laju lanjut seperti denyut. 

Kapan semua serempak beranjak ideal? Barangkali hanya jika Superman telah kecanduan Djarum Super. 

Aku tak yakin bahwa semua setuju dengan apa yang kumaksud. Tapi yang pasti, bagi mereka yang merasakannya, atau paling tidak, pernah memikirkannya, rumusan semacam ini (fragmentasi persoalan), haram jadi dalih bagi kita untuk berhenti mengusahakan perubahan. 

Walaubagaimanapun, persoalan susulan adalah efek samping atau yang oleh Robert K. Merton disebut sebagai dampak disfungsional, dan bukan tujuan dari persoalan yang hendak diselesaikan. Kelak bila atau memang pasti muncul persoalan susulan, menjadi kesemestian bagi kita untuk menyelesaikannya, terus dan terus hingga persoalan-persoalan itu bosan untuk muncul kembali. 

Semakin kita terlibat dalam hal ini (pemecahan persoalan sosial), semakin kita berpindah dari satu dimensi persoalan menuju dimensi persoalan yang baru, dari yang sederhana menuju yang kompleks. 

Para agamawan kerap menyebutnya sebagai “ladang ibadah”, sehingga bagi mereka, semuanya tak lain ibarat sebuah “Sajadah Panjang”. Ikhwal akan berakhir seperti apa semua ini, itu tak jadi soal. Sebab konon katanya, yang dinilai oleh Tuhan bukanlah hasil, melainkan niat dan prosesnya. 

Dan karena keterlibatan yang kumaksud hanya bisa dijalani dalam alur politis (tanpa berarti mesti ber-parpol) sebagai syarat lahirnya kebijakan, maka manjadi wajar apabila John Calvin berujar bahwa menjadi politisi (berusaha menyatakan aspirasi khalayak) adalah profesi yang mulia”.

Penulis: Yoga Prayoga

Posting Komentar untuk "Rubik dan Persoalan Sosial"