Revolusi Dari Dapur Sendiri
Ada banyak cara mencintai Indonesia, salah satunya dengan beralih dari konsumsi minyak sawit menuju minyak kelapa/kopra.
Ada banyak cara mencintai Indonesia, salah satunya dengan beralih dari konsumsi gula putih/tebu menuju gula merah/aren/nira/Jawa.
Daftar produk di atas tentu bisa dilanjutkan, dengan mensubtitusi beras menjadi sagu, pupuk kimia menjadi organik, atau batu bara menjadi tenaga surya, misalnya. Akan tetapi, yang saya sampaikan di sini hanya dua, sebatas contoh, perihal mengapa dan bagaimana langkah tersebut bisa berdampak nantinya.
Kita mulai dari minyak sawit/Crude Palm Oil (CPO). Meski komoditas ini menjadi penyumbang devisa ekspor yang lumayan, namun demikian, dampak sampingan dari pembudidayaannya yang monokultur telah menimbulkan kerugian yang tak kalah mahal dibanding keuntungan yang diperoleh.
Alasan untuk beralih dari komoditas ini menuju komoditas lain adalah sebagai berikut :
Alasannya beragam dan kompleks, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan tidak dibarengi peningkatan produksi yang setara, hingga pemerintah yang selalu enteng untuk membuka keran impor sehingga jaringan bisnis yang bergerak dalam lingkaran komoditas ini kalah saing dengan perusahaan lain yang berkelas Multi National Company (MNC), semacam Cargill, T&L, Sucden dan lainnya.
Oleh karena itu, paling tidak, hingga pemerintah punya komitmen yang jelas untuk melindungi pelaku usaha gula putih/tebu lokal dari serbuan gula putih/tebu impor, maka beralih ke gula merah/aren/nira/Jawa nampaknya merupakan langkah terbaik untuk diambil, mengingat bahwa :
Komoditas ini merupakan komoditas yang dihasilkan dari Home Industry, belum tersentuh oleh tangan-tangan besar korporasi, melainkan diproduksi oleh petani, yang sembari mengolah sawah di pagi hari, juga menyuling air aren/nira di siang atau sore harinya.
Artinya, proses produksi komoditas ini melibatkan banyak orang (padat karya), yang dengan demikian, bila kita melakukan peralihan konsumsi terhadapnya, selain berkontribusi untuk menurunkan angka impor gula putih/tebu, juga menolong sekian juta rumah tangga petani untuk memperoleh penghasilan tambahan. Dan dengan demikian, keuntungan dari produksi komoditas ini tidak jatuh ke tangan segelintir orang, sebagaimana yang akan terjadi jika ia digarap oleh korporasi. Melainkan tersebar merata dan berimplikasi positif pada perbaikan Rasio Gini/Ketimpangan Ekonomi.
Sekian untuk kali ini. Semoga Anda tertarik untuk ikut melakukannya. Mari cintai Indonesia dengan amal.
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Ada banyak cara mencintai Indonesia, salah satunya dengan beralih dari konsumsi gula putih/tebu menuju gula merah/aren/nira/Jawa.
Daftar produk di atas tentu bisa dilanjutkan, dengan mensubtitusi beras menjadi sagu, pupuk kimia menjadi organik, atau batu bara menjadi tenaga surya, misalnya. Akan tetapi, yang saya sampaikan di sini hanya dua, sebatas contoh, perihal mengapa dan bagaimana langkah tersebut bisa berdampak nantinya.
Kita mulai dari minyak sawit/Crude Palm Oil (CPO). Meski komoditas ini menjadi penyumbang devisa ekspor yang lumayan, namun demikian, dampak sampingan dari pembudidayaannya yang monokultur telah menimbulkan kerugian yang tak kalah mahal dibanding keuntungan yang diperoleh.
Alasan untuk beralih dari komoditas ini menuju komoditas lain adalah sebagai berikut :
- Bahwa jutaan hektar lahan hutan di Sumatera, Kalimantan dan Papua, yang menjadi objek konsesi dari berbagai korporasi untuk menanam komoditas ini telah nyata menimbulkan banyak konflik agraria, yang tak jarang, hingga merenggut nyawa.
- Bahwa telah belasan tahun, semenjak jutaan hektar lahan tersebut berstatus sebagai lahan konsesi korporasi guna menanam sawit, telah belasan tahun pula pembabatan dan pembakaran hutan yang demikian parah di Kalimantan dan Sumatera terjadi. Dan tahun 2015, dengan diperparah oleh El Nino, pembakaran yang kemudian menjadi kebakaran hutan tersebut makin sulit dihentikan.
- Bahwa minyak sawit bisa menyababkan berbagai gangguan kesehatan, sementara minyak kelapa/kopra tidak. Dan bahkan justru berkhasiat untuk mengobati berbagai hal, mulai dari meningkatkan imunitas, menurunkan kadar kolesterol, menyehatkan kulit dan sebagainya.
Alasannya beragam dan kompleks, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan tidak dibarengi peningkatan produksi yang setara, hingga pemerintah yang selalu enteng untuk membuka keran impor sehingga jaringan bisnis yang bergerak dalam lingkaran komoditas ini kalah saing dengan perusahaan lain yang berkelas Multi National Company (MNC), semacam Cargill, T&L, Sucden dan lainnya.
Oleh karena itu, paling tidak, hingga pemerintah punya komitmen yang jelas untuk melindungi pelaku usaha gula putih/tebu lokal dari serbuan gula putih/tebu impor, maka beralih ke gula merah/aren/nira/Jawa nampaknya merupakan langkah terbaik untuk diambil, mengingat bahwa :
Komoditas ini merupakan komoditas yang dihasilkan dari Home Industry, belum tersentuh oleh tangan-tangan besar korporasi, melainkan diproduksi oleh petani, yang sembari mengolah sawah di pagi hari, juga menyuling air aren/nira di siang atau sore harinya.
Artinya, proses produksi komoditas ini melibatkan banyak orang (padat karya), yang dengan demikian, bila kita melakukan peralihan konsumsi terhadapnya, selain berkontribusi untuk menurunkan angka impor gula putih/tebu, juga menolong sekian juta rumah tangga petani untuk memperoleh penghasilan tambahan. Dan dengan demikian, keuntungan dari produksi komoditas ini tidak jatuh ke tangan segelintir orang, sebagaimana yang akan terjadi jika ia digarap oleh korporasi. Melainkan tersebar merata dan berimplikasi positif pada perbaikan Rasio Gini/Ketimpangan Ekonomi.
Sekian untuk kali ini. Semoga Anda tertarik untuk ikut melakukannya. Mari cintai Indonesia dengan amal.
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Saya setuju dg opini ini, ide atay gagasannya mengenai revolusi dapur ini. Tinggal kita terjun langsung lewat teori penta helix yg sebelumnya sudah saya baca. Itupun kalau kapasitas kita sudah kuat untuk menjalankan opini ini ke publik. Namun, kalau dirasa masih belum, yaa bisa dg pengenalan keberadaan kita di masyarakat .
BalasHapusTermikasih pa yoga dkk sekalian yg ikut berkontribusi atas artikel ini,, kapan kapan kita bisa bertemu langsung.