Pemekaran Garut Selatan sebagai Sebuah Proyek Rekayasa Sosial

Pertemuan antara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan Forum Komunikasi Nasional (Forkonas) Daerah Otonomi Baru (DOB) dan Delegasi berbagai Kabupaten/Kota Calon Pemekaran se-Indonesia di Komplek Parlemen Senayan Jakarta pada Senin, 24 September 2018 lalu, sontak membuat wacana pemekaran Kabupaten Garut Selatan kembali ramai diperbincangkan [1].
Namun demikian, meski berbagai aspek administratif telah selesai, hingga kini hal tersebut masih terganjal oleh Moratorium / penghentian sementara yang diberlakukan oleh pemerintah Pusat sejak beberapa tahun silam hingga batas waktu yang tak ditentukan. Adapun alasan pemerintah Pusat masih memberlakukan Moratorium hingga kini, tiada lain karena persoalan anggaran [2].
Dalam kajian yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), setidaknya dibutuhkan dana senilai Rp. 200 miliar bagi pemekaran sebuah Kabupaten/Kota. Sedangkan saat ini, wilayah yang menginginkan pemekaran berjumlah 173 usulan, meliputi 16 DOB Provinsi dan 157 DOB Kabupaten/Kota. Artinya, dibutuhkan dana puluhan trilyun agar seluruh usulan pemekaran tersebut bisa dikabulkan [3].
Terlepas dari Moratorium tersebut, sejatinya pemekaran wilayah, baik itu Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa dan seterusnya merupakan suatu keniscayaan. Pasti. Tak mungkin dihindari.
Mengingat bahwa seiring bergeraknya waktu, pertumbuhan penduduk terus terjadi. Dan dengan demikian, berbagai wilayah yang dalam pola kehidupan sebelumnya bersifat sederhana, perlahan berubah menjadi kompleks/rumit.
Sehingga, institusi khusus yang diperuntukkan guna mengurusnya secara spesifik, mutlak dibutuhkan, yang dalam taraf tertentu bisa berupa Provinsi, Kabupaten/Kota maupun Desa dan seterusnya.
Bila pemekaran adalah sesuatu yang bersifat niscaya, lain halnya dengan kesiapan kita dalam menyambut pemekaran itu yang bersifat relatif. Artinya, bisa siap, bisa tidak.
Dalam PP No. 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah dijelaskan bahwa bila sebuah daerah ingin dimekarkan, maka daerah tersebut harus memenuhi beberapa prasyarat yang merupakan indikator kesiapan daerah. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat administrasi dan syarat teknis.
Syarat administrasi untuk pembentukan Kabupaten/ Kota mencakup adanya:
- Keputusan DPRD Kabupaten/Kota Induk tentang persetujuan pembentukan calon daerah Kabupaten/Kota;
- Keputusan Bupati/Walikota Induk tentang persetujuan pembentukan calon daerah Kabupaten/Kota;
- Keputusan DPRD Provinsi Induk tentang persetujuan pembentukan calon daerah kabupaten/kota;
- Keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon daerah Kabupaten/Kota;
- Rekomendasi Mendagri;
Terkait persyaratan administratif, setelah sekian lama diperjuangkan, kini seluruhnya telah hampir rampung dan hanya menyisakan satu hal saja, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, yakni Rekomendasi Mendagri yang kemudian disepakati oleh Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rayat (DPR).
Namun demikian, terkait persyaratan teknis yang terdiri dari belasan indikator tersebut, hingga kini belum dilakukan penilaian yang pasti, melalui studi, misalnya, yang menyatakan bahwa kita telah berstatus siap.
Oleh karena itu, tanpa menafikan upaya para pihak yang terus memperjuangkan pemekaran Garut Selatan, bagi saya memastikan bahwa kita akan siap kala pemekaran itu terjadi adalah sesuatu yang jauh lebih penting.
Sebab tanpa kepastian atas kesiapan tersebut, bukan tidak mungkin bahwa DOB Garut Selatan yang kelak ada, justru akan mengikuti jejak ‘para pendahulunya’, yakni daerah baru yang alih-alih menjadi daerah maju, justru malah menjadi daerah miskin baru yang 90% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya bergantung pada pemerintah Pusat [5].
Jika kita sepakat bahwa persiapan pemekaran Garut Selatan sebagai sebuah cita-cita bersama adalah yang terpenting, maka seluruh elemen yang mendambakannya, secara serempak mesti menjadikan itu sebagai sebuah proyek Rekayasa Sosial (Social Engineering), suatu upaya perubahan sosial secara terencana (Planned Social Change).
Dan sebagaimana yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial pada umumnya, perubahan sosial yang terencana ini memerlukan beberapa hal, di antaranya: aktor/pelaku, metode/strategi/taktik, perencanaan waktu, penetapan skala prioritas, biaya dan lain sebagainya.
Kultur dan Struktur
Perubahan sosial selalu datang/dilakukan melalui 2 (dua) hal, yakni perubahan melalui kultur dan perubahan melalui struktur.
Perubahan melalui kultur berkaitan dengan perubahan dalam segala jenis pola tindak kita dalam keseharian. Jalan yang bisa ditempuh guna melakukan perubahan melalui jalur ini adalah pendidikan dalam arti nan luas, bukan terbatas pada persekolahan, melainkan pula meliputi pendidikan di lingkungan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi, baik itu di tempat ibadah, tempat bekerja dan lain sebagainya, karena target dari perubahan sosial melalui jalur ini adalah perubahan perilaku.
Jika jalur ini yang kita tempuh, maka aktor-aktor yang terlibat dalam upaya perubahan sosial terencana mesti melakukan transformasi budaya, dalam arti mempengaruhi publik (masyarakat luas) untuk beranjak dari suatu pola tindak yang selama ini tidak sinkron menjadi sinkron dengan tujuan perubahan sosial terencana tadi.
Kemudian, perubahan melalui struktur berkaitan dengan penggunaan otoritas / wewenang guna mengubah tatanan sosial. Perubahan melalui jalur ini dijalankan melalui langkah-langkah politis karena objek yang hendak diubah olehnya adalah kebijakan yang bersumber pada pemberlakuan suatu regulasi / aturan main [6].
Selanjutnya, terkait aktor, waktu dan biaya yang kita perlukan bagi upaya perubahan sosial terencana berupa persiapan pemekaran Garut Selatan ini, saya tak akan membahasnya. Namun terkait objek/ranah yang kemudian patut diupayakan sebagai skala prioritas, selama masih menyatu dengan daerah induk, saya menyarankan beberapa hal.
1. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Dari sekian banyak aspirasi yang mencuat terkait pemekaran Garut Selatan, keinginan agar Garut Selatan kelak diurus oleh warga lokal dengan asumsi bahwa orang lokal akan lebih serius dalam mengurus daerahnya sendiri adalah aspirasi yang paling kuat intensitasnya.Sementara itu, di era Globalisasi saat ini, primordialisme semacam demikian nampaknya kurang kompatibel dengan jiwa zaman yang lebih mengarus-utamakan Brain Circulation.
Brain Circulation berarti bahwa asalkan layak untuk mengurus sesuatu, maka seseorang boleh menempati posisi profesional dimana pun peluang untuk menampati posisi itu berada.
Pekerjaan di Jepang boleh ditempati oleh orang Indonesia sebagaimana pekerjaan di Indonesia boleh ditempati oleh orang Jerman dan pekerjaan di Jerman boleh ditempati oleh orang Amerika adalah salah satu contoh dari fenomena Brain Circulation ini [7].
Sementara itu, tidak ada satu pun klausul di dalam Undang-Undang (UU) Tenaga Kerja [8] yang menyatakan bahwa orang lokal harus diutamakan agar diterima sebagai pekerja di sebuah perusahaan atau instansi. Sehingga, hanya ada sedikit jalan yang bisa ditempuh untuk mewujudkan aspirasi semacam ini, yakni melalui kolusi/nepotisme dan/atau beradu profesionalitas secara fair tanpa membawa embel-embel identitas primordial berupa asal daerah, negara, ras, agama dan lain sebagainya.
2. Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur
Infrastruktur berupa jaringan jalan, irigasi, sekolah, pembangkit plus jaringan distribusi listrik, telekomunikasi dan sebagainya adalah penting untuk dua hal. Pertama, dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar warga. Dan kedua, agar ekonomi bisa dirangsang tumbuh secara signifikan [10].Dalam banyak kesempatan ramai disinggung bahwa salah satu aspek yang mendorong rasa percaya diri untuk berpisah dari wilayah induk adalah besarnya potensi ekonomi yang dimiliki oleh Garut Selatan, mulai dari sektor Agro-Industry (Indutri berbasis pertanian), Agro-Forestry (kegiatan pertanian yang bersanding serasi dengan pelestarian lingkungan/kehutanan), pariwisata hingga pertambangan, sebagaimana yang menjadi hasil kajian dari Jenny Ratna Suminar, M.Si dkk dalam Studi Evaluasi Pengembangan Garut Bagian Selatan [11].
Namun demikian, tanpa insfrastruktur yang memadai, sejumlah sektor yang dapat digarap tersebut masihlah berupa potensi, tanpa mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara aktual/nyata.
Oleh karenanya, pembangunan beragam infrastruktur secara massif menjadi penting untuk meningkatkan daya saing. Sebab mustahil seseorang akan berani mengeluarkan modal guna membiayai usaha cukur rambut, misalnya, jika setiap beberapa menit sekali listrik mati, meski terdapat ribuan orang berambut gondrong yang membutuhkan jasanya.
Saat ini, beragam infrastruktur penunjang itu relatif sukar diperoleh secara memuaskan di Garut Selatan. Dan memang, hal itulah yang menjadi salah satu pemicu menguatnya keinginan untuk memekarkan diri.
Dalam masa persiapan, sejatinya hal-hal di atas bisa diperoleh dengan dukungan anggaran dari daerah induk, yakni pemerintah Kabupaten Garut, selain pula pemerintah Provinsi Jawa Barat dan sekaligus pemerintah Pusat dalam suatu sinergitas. Namun demikian, nampaknya hingga kini porsi anggaran untuk wilayah yang kelak menjadi Garut Selatan ini tak sebesar porsi anggaran untuk wilayah lain.
Beberapa hal ditengarai menjadi penyebab hal ini terjadi. Diantaranya :
a. Meski cakupan wilayahnya begitu luas, namun jumlah penduduk Garut Selatan ternyata jauh lebih sedikit dibanding jumlah penduduk di wilayah Garut Utara. [12] Akibatnya, maka siapapun Bupati yang terpilih, maka ia selalu memberi porsi anggaran yang lebih besar bagi Garut Utara karena jumlah konstituennya di sana jauh lebih banyak. Dalam sudut pandang politik, hal demikian sangatlah wajar.
b. Daya tawar penduduk wilayah Garut Selatan di parlemen / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut lemah, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Di dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), wilayah Garut Selatan selalu terbagi menjadi dua Daerah Pemilihan (Dapil), dimana jumlah keseluruhan kursi anggota DPRD yang tersedia untuk mewakili aspirasi masyarakat Garut Selatan hanya 19 kursi, atau kurang dari 50 %, dari total 50 kursi parleman yang tersedia[13]. Belum lagi ke-19 orang yang duduk di kursi DPRD Kabupaten Garut itu pun tersebar di berbagai Koalisi, Fraksi dan Komisi. Akibatnya, tak ada bargaining position / posisi tawar yang bisa diandalkan untuk mengintervensi kebijakan terkait porsi anggaran.
Adapun faedah dari ke-19 anggota DPRD Kabupaten Garut yang berasal dari wilayah Garut Selatan bagi peningkatan porsi anggaran khususnya untuk infrastuktur di wilayah Garut Selatan, sejauh ini hanya berasal dari Dana Aspirasi atau yang secara resmi disebut Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan [14], yang jika digabung dengan rata-rata asumsi sejumlah Rp. 2 miliar per orang per tahun pun, hanya didapat sekitar kurang dari Rp. 40 miliar per tahun : Jumlah yang jauh kalah berbanding dengan APBD Garut yang hampir menyentuh angka Rp. 4 Trilyun per tahun, yang jauh akan lebih besar dampak sosialnya bagi pembangunan infrastruktur, andai fungsi dari DPRD itu optimal sehingga bargaining position untuk mengubah struktur APBD itu diperoleh [15].
Oleh karenanya, guna meningkatan geliat pembangunan infrastruktur di Garut Selatan dalam rangka menunjang upaya persiapan pembentukan DOB, esok lusa, jika yang kita kedepankan selalu hanya soal kuantitas, maka pasti kita kalah telak.
Maka dari itu, kualitas tentu menjadi sesuatu yang jauh lebih penting. Baik itu kualitas anggota DPRD yang berasal dari Garut Selatan, maupun kualitas kita selaku masyarakat biasa, yang jika pada masa sebelumnya hanya berupa kerumunan (crowd) yang berjumlah banyak namun tercerai berai secara kekuatan, maka kini mesti beranjak jadi massa yang terorganisir dan berkesadaran politik tinggi menuju tujuan yang sama secara sinergis sebagai sebuah kekuatan agar memiliki daya tawar yang tinggi di hadapan kekuasaan, baik itu di tingkat Kabupaten, Provinsi maupun Nasional.
Dengan kata lain, melalui kultur, jika di masa sebelumnya masyarakat terbiasa menggunakan hak pilih secara serampangan dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) tanpa menimbang manfaat apa yang bisa diperoleh dari hal tersebut bagi upaya persiapan pemekaran Garut Selatan, maka mulai saat ini kita mesti mendidik masyarakat agar bijak dalam menggunakan hak pilihnya itu demi tercapainya tujuan perubahan yang dimaksud.
Dengan demikian berarti, budaya politik masyarakat yang sebelumnya bersifat parochial (tak peduli, masa bodoh) perlahan mesti kita ubah menuju budaya politik baru yang bersifat partisipatif (tanggap/pro-aktif) [16].
Dan melalui struktur, kita arahkan, melalui Anggota DPRD Kabupaten Garut yang sedang atau kelak menjadi wakil kita di parlemen, agar porsi anggaran pembangunan untuk Garut Selatan sebagai langkah pra Pemekaran yang berasal dari APBD Kabupaten Garut, diperbesar persentase-nya, dan tak melulu pasrah mengandalkan Dana Aspirasi yang jumlahnya secuil dibanding total kebutuhan yang ada.
Mari berkolaborasi ikut serta mendukung pembangunan kawasan Agro-Techno Park Kandangwesi. Baca selengkapnya di : #BangunKandangwesi
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Referensi :
- Diakses online di: http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/09/24/dpd-ri-desak-pemerintah-hentikan-moratorium-pemekaran-daerah-430572, pada 15 Oktober 2018)
- Ratnasari, Dian. 2018. Menyoal Moratorium Pemekaran. Jakarta : LIPI (Diakses online di : http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-lokal/1248-menyoal-moratorium-pemekaran-daerah, pada 15 Oktober 2018)
- Kebijakan Penataan Daerah Terkait daerah Otonom Baru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. 2017. Kementerian Dalam Negeri RI. (Diakses online di : http://keuda.kemendagri.go.id, pada 15 Oktober 2018)
- Badan Perencanaan Pembangunan. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah. (Diakses online di : http://www.undp.org/content/dam/indonesia/docs/pemekaran_ID.pdf , pada 15 Oktober 2018).
- PP No. 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
- Rakhmat, Jalaludin. 2005. Rekayasa Sosial : Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar?. Bandung : Remaja Rosdakarya
- Faiz, P. M. 2017. Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India (Diakses online di: http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/09/brain-drain-di-indonesia.html , pada 15 Oktober 2018).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
- Jeffrey Pfeffer, 1996. Keunggulan Bersaing Melalui Manusia (Competitive Advantage through People), Alih Bahasa Agus Maulana, Jakarta: Binarupa Aksara
- Suyono, Dikun. 2003. Infrastruktur Indonesia : Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta ; Bappenas
- Suminar, Jenny Ratna dkk. 2007. Studi Evaluasi Pengembangan Garut Bagian Selatan. Bandung : Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran1
- Kabupaten Garut Dalam Angka Tahun 2017. Jakarta : Badan Pusat Statistik (Diakses online di https://garutkab.bps.go.id/publication/2017 , pada 15 Oktober 2018)
- Diakses onlie di https://infopemilu.kpu.go.id/, pada 15 Oktober 2018
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)
- Diakses online di : https://wartapriangan.com/2017/09/05/bupati-garut-akui-apbd-di-depositokan/, pada 15 Oktober 2018
- Almond, Gabriel. 1984. Budaya Politik (Tingkah Laku Politik di Lima Negara). Jakarta : Binaaksara
Nice
BalasHapus