Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merdesa atau Mati

Desa adalah gambaran paling utuh atas Dunia Ketiga, yakni dunia yang berisi alam nan indah dan subur, yang darinya, raw material atau bahan baku bagi berbagai komoditas dunia bermula. 

Orang-orang desa, atau pula masyarakat Dunia Ketiga, kerap memuja kekayaan alam yang terkandung di tanah-airnya. Mereka bangga dengannya. Meski kemudian justru kerap dibuat heran, mengapa segala kekayaan alam itu tak kunjung lantas membawa kekayaan finansial bagi masing-masing dompetnya. 
Merdesa atau Mati

Dari beberapa studi, katanya, 50% penduduk miskin, terutama penganggur Indonesia, tinggal di desa. Usut punya usut, ada satu hal yang mereka lupa, bahwa potensi ekonomi dari suatu komoditas justru terletak pada upaya pemberian nilai tambah (added value) atas komoditas tersebut.

Sebagai contoh paling mudah: 1 Kg singkong hanya sekitar Rp1.500. Tetapi, pasca diolah menjadi 'Combro' (Makanan Khas Sunda), yang mana dari 1 Kg singkong itu bisa dihasilkan sekitar 50 butir 'Combro' seharga Rp500, maka ada nilai tambah sejumlah lebih dari Rp.20.000 yang bisa dikantongi. 

Itu baru soal singkong yang diolah menjadi 'Combro'. Padahal hasil olahan singkong itu banyak, mulai dari 'Getuk', 'Misro', 'Lado', Konsentrat Pakan Ternak atau bahkan Tepung Tapioka serta Biofuel

Belum lagi bila kita bahas Sapi, Ikan, Ayam, dan sebagainya. Tentu nantinya bisa jadi Sosis, Nugget, Fillet, Bakso, Susu, Telur, Kerupuk Kulit, Yoghurt, Permen Susu, bahkan jaket, dompet, sepatu, dan lain-lain. 

Jika demikian adanya, maka menjadi aneh apabila seseorang malah memilih pergi meninggalkan desa menuju kota yang sumpek, rutin banjir, macet, dan lain-lain hanya demi UMR yang pas buat makan dan sedikit hepi-hepi.  

Memang, apabila yang kita perhatikan hanya variabel kekayaan alam dan potensi hasil pengolahannya saja, komentar sinis macam itu lumrah. Permasalahannya adalah: 
  1. Apa tiap orang di desa punya lahan yang cukup secara kuantitas untuk mendukung usaha pertanian atau peternakannya? Hasil Sensus Pertanian 2013 menjawab: Rata-rata luas lahan petani di Indonesia kurang dari 0,3 hektar. Padahal luas lahan yang layak bagi kesejahteraan petani versi Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah 2 - 2,5 hektar per Kepala Keluarga. 
  2. Apa masyarakat desa bisa dengan mudah mengakses pinjaman sebagai modal usahanya? Tidak. Mereka justru terjebak dalam kubangan Renteneer sebagai akibat ditolak pinjem Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh bank-bank BUMN karena tak punya agunan. 
  3. Apa iklim investasi di desa bagus? Jawabannya, mau beli mesin penetas telur ayam saja ragu, sebab mati lampu berjam-jam itu bukan lagi hal yang tabu. Usaha cukur saja bangkrut gara-gara ini. Apalagi bikin Home Industry semacam itu. 
  4. Bila pun lahannya ada, lalu akses permodalannya mudah serta iklim investasinya mendukung, apa masyakarat desa tahu cara memproduksi berbagai produk bernilai tambah tadi? Jawabannya: Tidak. Bahkan tentang sabut kelapa yang bisa dibubut sehingga layak jadi bahan baku jok mobil saja mereka tidak tahu.
Jadi, hal yang diperlukan agar orang-orang desa bisa kaya-raya-adil-makmur itu banyak, mulai dari ketersediaan kuantitas lahan yang cukup serta kualitas lahan yang baik, akses permodalan yang mudah dengan bunga yang murah, iklim investasi yang mendukung seperti jalan yang baik, listrik yang stabil, irigasi yang normal, dan seterusnya. Satu lagi, penguatan sumber daya manusianya, biar nmereka bisa tahan banting dalam kehidupan yang penuh kompetisi ini.

Oleh karenanya, teruntuk masyarakat Kandangwesi yang kondisinya demikian, Kembalikan punya tanggungjawab besar.   

Posting Komentar untuk "Merdesa atau Mati "