Menulis Biografi, Menepis Salah Persepsi
Lukman Al Hakim, seorang nabi dari Mesopotamia, yang masih punya hubungan darah dengan Ibrahim, hendak pergi ke sebuah pasar, bersama anaknya dan seekor keledai. Di awal perjalanan, Al Hakim naik diatas keledai, sementara sang anak menuntun.
Tak kunjung lama, orang-orang berkomentar,”Itu orang tua gak punya belas kasihan. Anaknya ngos-ngosan nuntun. Eh dia-nya malah enak-enakan naik”. Mendengar ucapan itu, kemudian mereka bertukar posisi : Al Hakim menuntun, anaknya naik.
Beberapa saat kemudian, muncul lagi komentar,”Wah itu anak gak punya sopan santun. Bapaknya nuntun sampe kerempeng. Eh dia malah senyam-senyum diatas keledai”. Bingung_plus jengkel dengan komentar-komentar tadi, Al Hakim dan sang anak lalu memilih naik di atas punggung keledai secara bersama-sama_tanpa seorang pun diantara mereka yang menuntun.
Setelah itu, mereka kembali mendengar cemooh,”Waduh, keledai sekecil itu dipake sama dua orang. Dasar gebleg!”. Akhirnya, mereka berdua turun dari atas keledai, lalu menuntunnya bersama-sama.
Kali ini mereka kira takkan ada lagi hujat-cemooh dari orang-orang. Akan tetapi, justru,”Dasar bego. Buat apa bawa keledai kalo gak dipake?”, dengus seseorang. Dalam kisah ini, betapa mereka merasa serba salah.
Kisah Al Hakim adalah pula kisah SBY dan Jokowi, serta sederet public figure lain yang segala tindak tanduknya tak lepas dari sorotan khalayak. Persis seperti Al Hakim, mereka kerap merasa serba salah. Berikut ceritanya, cekidot :
SBY, karena dikenal santun tapi tersakiti oleh Megawati pada medio 2003, berhasil meraup banyak kepercayaan_atau lebih tepatnya empati dari masyarakat sehingga terpilih sebagai presiden RI pada Pemilu 2004.
Ia banyak dipuji untuk beberapa saat. Tapi tak lama kemudian, tersebab oleh kesantunannya, ia justru dipandang sebagai "Presiden yang Lebay"_apalagi setelah mengeluarkan album.
Gerah dengan stereotipe seperti itu, pada beberapa kesempatan, ia menunjukan “ketegasannya”. Akan tetapi justru karena “ketegasannya” itu, media massa_terutama yang kontra pada SBY dan punya calon presiden sendiri_ memberi tema besar dalam berita-beritanya, yakni “SBY Ngamuk”. (Tadi disebut lebay, sekarang dikatakan "ngamuk", alias galak).
Beberapa tahun ke belakang, sebelum nama Joko Widodo (Jokowi) muncul ke atas mercusuar perpolitikan nasional, orang-orang mengatakan,”Kami rindu pemimpin yang dekat dengan rakyat”, karena pada saat itu, di mata mereka, para pemimpin bangsa telah banyak yang amnesia.
Ketika berkampanye, memang benar mereka datang ke kampung-kampung. Tapi setelah terpilih, jelas itu mustahil. Hari berganti, angin tetap berhembus. Cuaca berubah, daun-daun tetap tumbuh*. Para pejabat pun tak pernah berubah, tak dekat dengan masyarakatnya.
Bosan dengan sosok pemimpin yang tak mewakili corak kehidupannya, rakyat Jakarta kemudian berpaling pada sosok pemimpin alternatif. Dialah pemimpin yang datang dari balik tirai kemiskinan ibukota.
Jokowi, pelayan curhat para gembel, penakar solusi banjir kali Ciliwung, dengan wajah yang tanpa label mewah, akhirnya terpilih sebagai gubernur. Dalam 100 hari kepemimpinannya, bahkan hingga kini, ia masih tetap blusukan.
Tapi kurang dari satu tahun berselang, aksinya dinilai sebagai “pencitraan”. (Katanya rindu sama yang deket dengan rakyat. Udah ada kok malah disebut pencitraan)
Al Hakim merasa serba salah. SBY pun demikian, sama halnya dengan Jokowi. Tindak tanduk public figure memang selalu seksi untuk ditafsirkan oleh media massa. Karena tafsirannya itulah, yang sering membuat gerah, banyak penguasa yang memberangusnya. “Empat surat kabar jauh lebih berbahaya dari beribu-ribu tentara”, kata Napoleon Bonaparte.
Kini, ketika media massa populer nampak lebih berorientasi pada keuntungan, maka memberitakan sesuatu yang seksi adalah sebuah keniscayaan. Sebabnya, memang berita semacam itulah yang lebih diminati.
Seorang pria digigit anjing itu biasa. Tapi seekor anjing digigit pria itulah berita. “Bad news is a good news”, bahasa kerennya. Akan tetapi, ketika bad news sejenak tandus, apa yang mesti diperbuat?
“Dulu, realitas atau kenyataanlah yang melahirkan kata atau opini. Tapi kini, justru kata atau opinilah yang membentuk kenyataan atau realitas”, kata Ferdinand De Saussurre. Dalam kata lain ,”Dulu, peristiwalah yang melahirkan berita. Tapi kini, justru beritalah yang merancang peristiwa”. Berangkat dari hal ini, maka pembentukan opini adalah jawaban bagi ketandusan berita seksi, juga jalan bagi kesuksesan misi para pemakai jasa promosi.
Tentu masih banyak media massa yang memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi Anda. Tapi media massa seperti itu biasanya tidak populer karena memang tidak marketable.
Objektivitas Media Massa dan Penulisan Sejarah
Kini, mari kita berimajinasi ke masa depan, bicara soal sebjektivitas media massa serta pengaruhnya terhadap penulisan sejarah.
Bukti adalah pisau pembedah masa lalu. Berdasarkan bukti itulah para sejarawan bereksistensi. Ada banyak ragam bukti, dan berita media massa adalah salah satunya, bahkan termasuk jajaran utama.
Dari bukti-bukti itu, seorang penulis sejarah kemudian melakukan tafsiran : ia membaca, membandingkan, menganalisis, hingga sampailah pada kesimpulan yang kemudian jadi isi tulisan. Oleh karena itulah, sejarah amat tergantung pada bukti_atau lebih tepatnya pada tafsiran bukti.
Kelak, nama SBY, Joko Widodo serta sederet bintang lain akan tertulis dalam sejarah. Pertanyaannya, sejarah semacam apa yang akan tergambar dari sosok mereka? Bila acuan buktinya adalah berita media massa, maka seperti Al Hakim, akan ada banyak keserbasalahan bagi mereka.
Apapun kebijakan yang mereka ambil, pidato seperti apapun yang mereka lontarkan, maka kesimpulannya tetap_seperti Al Hakim, tindakan mereka selalu tidak tepat, sia-sia, dan seterusnya dan seterusnya. Untuk konteks transedental, tentu semua keserbasalahan mereka akan beres atau sedikitnya terhibur dengan kalimat,”Segala perbuatan tergantung dari niatnya”.
Tapi untuk konteks hubungan antar sesama manusia, nama mereka tetap ternoda, dimana-mana, untuk selama-lamanya.
Oleh sebab itu, dalam pandangan saya, bagi seorang pemimpin, yang memiliki posisi strategis dalam penentuan kebijakan, yang tindak-tanduknya sering ditafsir buruk oleh khalayak_sekalipun kepentingan yang ia usung adalah kepentingan semua pihak, maka menulis biografi atau otobiografi adalah penting.
Dengan adanya biografi atau otobiografi, seorang sejarawan bisa membentuk gagasan berdasarkan pemaparan tokoh, dan agak menunda tafsiran pihak lain yang hanya menduga berdasarkan berita yang bercampur dengan prasangka. Dengan membaca biografi atau otobiografi, seorang sejarawan telah sedikit menghapus subjektivitas. Lumayan.
Selain itu, dalam biografi seseorang bukan saja menceritakan riwayat kelahiran dan kematiannya, melainkan pula memberikan klarifikasi atau pula pembelaan diri atas perbuatannya yang mengundang kontroversi.
Soekarno, yang dianggap sebagai kolaborator Jepang, membela diri dalam Penyambung Lidah Rakyat. Hitler yang dihujat atas perbuatan militeristiknya terhadap Yahudi membela diri dalam Mein Kampf.
Di detik ini, dapat kita saksikan, bahwa implikasi dari pembelaan diri dalam biografi itu adalah tetap dikenangnya mereka sebagai putera terbaik bangsa, bahkan setelah namanya berusaha dihapus oleh penguasa penerus.
Mungkin Anda bukan presiden, raja, atau apapun itu. Tapi saya yakin, Anda punya peran sosial penting, setidaknya dalam keluarga. Apa yang terjadi dengan Anda kini adalah implikasi dari apa yang dilakukan oleh leluhur Anda.
Demikian pula apa yang akan terjadi dengan anak-cucu Anda, semua amat tergantung atas apa yang Anda perbuat kini. Janganlah terlalu percaya diri bahwa Anda akan dikenang sebagai orang tua yang membanggakan.
Bisa jadi, justru anak-cucu Anda memiliki pandangan negatif terhadap Anda, sekalipun niat Anda atas segala perbuatan adalah demi kebaikan mereka. Oleh karenanya, buatlah klarifikasi, bela diri Anda, lewat oto atau bio-grafi, bila memang benar bahwa dedikasi Anda sepenuhnya demi mereka.
Posting Komentar untuk "Menulis Biografi, Menepis Salah Persepsi"