Menghormati Guru, Kepada Pemangku Kebijakan
Sejak kecil anak saya diasuh oleh pengasuh rumah tangga. Hal ini terpaksa saya dan istri saya lakukan karena kami_orang tuanya, harus bekerja. Tentu, sebagai orang yang bekerja di lingkungan pendidikan, berat rasanya menyerahkan buah hati diasuh oleh orang lain.
Pengasuh pertama, seorang perempuan setengah baya. Usianya sekitar 40 tahunan. Janda beranak dua. Namun, anak kami tidak lama diasuh olehnya karena kami harus pindah rumah. Adapun pengasuh yang kedua seorang perempuan tua. Usianya telah menjelang senja. Cucunya pun sudah dua.
Keduanya kami perlakukan tidak sebagai pekerja, melainkan seperti keluarga sendiri. Istri saya bahkan tak segan mencium tangan mereka ketika datang atau pulang dari rumah kami. Saya pun kerap berseloroh, Stalin yang telah mendirikan Negara sosialis yang katanya sangat menjunjung tinggi derajat kaum buruh pun belum tentu melakukan itu.
Istri saya hanya tersenyum, kemudian berkata, ”Kita ini menitipkan buah hati pada orang lain. Anak yang seharusnya kita besarkan dan kita didik dengan tangan kita sendiri. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berterima kasih pada mereka. Rasa terima kasih itu ada banyak cara, salah satunya dengan menyayangi dan menghormati mereka sepenuh hati,” jawabnya panjang lebar.
Saya mengangguk setuju. Menghormati pengasuh anak kami sama artinya dengan dengan menyayangi anak kami sendiri. Atas dasar itulah, saya dan istri saya memperlakukan mereka dengan hormat_semampu yang dapat kami lakukan.
Upah kerja misalnya. Sesuai kesepakatan, dibayarkan mingguan. Kami tak pernah sekalipun menunggaknya. Walaupun kadang untuk membayarnya, kami harus pinjam uang terlebih dahulu. Selain dibayar tepat waktu, upah yang kami berikan pun lebih dari umumnya. Bahkan, seandainya saja kami mampu, kami takkan segan membayarnya lebih dari itu.
Begitu pun soal makanan. Apa yang kami makan adalah yang juga mereka makan. Tidak pernah kami dibeda-bedakan, apalagi sampai dipisahkan. Tak jarang, kalau kebetulan ada rizki berlebih, kami tak segan mengeluarkan uang_membeli makanan atau kebutuhan rumah tangga lainnya untuk dibawa pulang.
Meskipun demikian, bukan berarti kami menyerahkan sepenuhnya pengawasan anak kami kepada mereka. Setiap pulang dari tempat kerja, kami selalu bertanya tentang kondisi anak kami selama ditinggalkan. Berapa kali makannya? Sudah mandi atau belum? Apakah dia nakal atau tidak? Menjelang malam sebelum tidur, kami pun tak lupa memeriksa si anak. Apakah di tubuhnya ada bekas luka atau tidak. Setelah agak besar dan bisa bicara, kami juga sering bertanya, apakah ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pengasuhnya? Apakah pengasuhnya galak dan suka marah-marah?
Tak jarang kami diberitahu oleh sang anak bahwa ia terluka; entah itu jatuh, terpeleset, atau terbentur dinding rumah karena pengasuhnya mengantuk. Kami juga kadang mendapat laporan bahwa anak kami dimarahi karena mungkin bandel atau nakal.
Sebagai orang tua, kami tentu ingin yang terbaik bagi anaknya. Tak ingin sedikit pun mendapati si anak celaka atau terluka. Maka pagi harinya_sebelum berangkat kerja, dengan halus dan sopan tentunya, kami memberitahukan mereka agar lebih berhati-hati dalam menjaga anak kami. Tak lupa permohonan maaf kami sampaikan apabila kami dianggap rewel dan merepotkan.
Apa buah yang kami petik dari menghormati seorang pengasuh? Pekerjaan yang dianggap rendah oleh masyarakat kita. Jawabnya tak lain dan tak bukan, rasa sayang berlebih yang mereka berikan pada anak kami. Mereka menganggap anak kami sebagai anak atau cucunya sendiri.
Kepada kami pun sebagai orang tuanya, rasa hormat dan kasihnya pun juga tak terhingga. Tak jarang kami dapati piring atau baju kotor, yang lupa kami cuci, telah bersih kembali. Padahal itu sama sekali bukan tanggung jawabnya. Seminggu atau dua minggu sekali, halaman rumah yang dipenuhi rumput, tiba-tiba telah disiangi. Malah tak jarang, kami mendapat kiriman makanan hasil kebun mereka sendiri.
Guru, pada hakekatnya mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pengasuh. Sama-sama mengasuh anak-anak yang dititipkan kepada mereka. Entah itu oleh yayasan, dinas, atau pemerintah. Menghormati guru sama halnya dengan menyayangi anak-anak itu sendiri. Karena di pundak merekalah, pengawasan dan pendidikan dibebankan.
Menghormati guru bukan hanya memenuhi hak-haknya semata, melainkan juga menempatkan mereka di tempat yang selayaknya. Tentu, sebagai manusia, guru pun tak luput dari kesalahan dan kealpaan. Oleh karena itu, mengingatkan mereka akan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik mutlak diperlukan.
Apabila ini dilakukan, saya yakin, tidak aka ada lagi siswa yang kehilangan gurunya saat jam pelajaran berlangsung. Tidak akan ada lagi guru yang datang ke sekolah hanya memberi latihan atau tugas. Tidak akan ada guru yang kerjaannya marah-marah dan menghukum. Menurut hemat saya, kondisi anak-anak bangsa saat ini, tak lain merupakan cerminan bagaimana guru diperlakukan.
Tabik.
Penulis: Apip Kurniadin
Pengasuh pertama, seorang perempuan setengah baya. Usianya sekitar 40 tahunan. Janda beranak dua. Namun, anak kami tidak lama diasuh olehnya karena kami harus pindah rumah. Adapun pengasuh yang kedua seorang perempuan tua. Usianya telah menjelang senja. Cucunya pun sudah dua.
Keduanya kami perlakukan tidak sebagai pekerja, melainkan seperti keluarga sendiri. Istri saya bahkan tak segan mencium tangan mereka ketika datang atau pulang dari rumah kami. Saya pun kerap berseloroh, Stalin yang telah mendirikan Negara sosialis yang katanya sangat menjunjung tinggi derajat kaum buruh pun belum tentu melakukan itu.
Istri saya hanya tersenyum, kemudian berkata, ”Kita ini menitipkan buah hati pada orang lain. Anak yang seharusnya kita besarkan dan kita didik dengan tangan kita sendiri. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berterima kasih pada mereka. Rasa terima kasih itu ada banyak cara, salah satunya dengan menyayangi dan menghormati mereka sepenuh hati,” jawabnya panjang lebar.
Saya mengangguk setuju. Menghormati pengasuh anak kami sama artinya dengan dengan menyayangi anak kami sendiri. Atas dasar itulah, saya dan istri saya memperlakukan mereka dengan hormat_semampu yang dapat kami lakukan.
Upah kerja misalnya. Sesuai kesepakatan, dibayarkan mingguan. Kami tak pernah sekalipun menunggaknya. Walaupun kadang untuk membayarnya, kami harus pinjam uang terlebih dahulu. Selain dibayar tepat waktu, upah yang kami berikan pun lebih dari umumnya. Bahkan, seandainya saja kami mampu, kami takkan segan membayarnya lebih dari itu.
Begitu pun soal makanan. Apa yang kami makan adalah yang juga mereka makan. Tidak pernah kami dibeda-bedakan, apalagi sampai dipisahkan. Tak jarang, kalau kebetulan ada rizki berlebih, kami tak segan mengeluarkan uang_membeli makanan atau kebutuhan rumah tangga lainnya untuk dibawa pulang.
Meskipun demikian, bukan berarti kami menyerahkan sepenuhnya pengawasan anak kami kepada mereka. Setiap pulang dari tempat kerja, kami selalu bertanya tentang kondisi anak kami selama ditinggalkan. Berapa kali makannya? Sudah mandi atau belum? Apakah dia nakal atau tidak? Menjelang malam sebelum tidur, kami pun tak lupa memeriksa si anak. Apakah di tubuhnya ada bekas luka atau tidak. Setelah agak besar dan bisa bicara, kami juga sering bertanya, apakah ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pengasuhnya? Apakah pengasuhnya galak dan suka marah-marah?
Tak jarang kami diberitahu oleh sang anak bahwa ia terluka; entah itu jatuh, terpeleset, atau terbentur dinding rumah karena pengasuhnya mengantuk. Kami juga kadang mendapat laporan bahwa anak kami dimarahi karena mungkin bandel atau nakal.
Sebagai orang tua, kami tentu ingin yang terbaik bagi anaknya. Tak ingin sedikit pun mendapati si anak celaka atau terluka. Maka pagi harinya_sebelum berangkat kerja, dengan halus dan sopan tentunya, kami memberitahukan mereka agar lebih berhati-hati dalam menjaga anak kami. Tak lupa permohonan maaf kami sampaikan apabila kami dianggap rewel dan merepotkan.
Apa buah yang kami petik dari menghormati seorang pengasuh? Pekerjaan yang dianggap rendah oleh masyarakat kita. Jawabnya tak lain dan tak bukan, rasa sayang berlebih yang mereka berikan pada anak kami. Mereka menganggap anak kami sebagai anak atau cucunya sendiri.
Kepada kami pun sebagai orang tuanya, rasa hormat dan kasihnya pun juga tak terhingga. Tak jarang kami dapati piring atau baju kotor, yang lupa kami cuci, telah bersih kembali. Padahal itu sama sekali bukan tanggung jawabnya. Seminggu atau dua minggu sekali, halaman rumah yang dipenuhi rumput, tiba-tiba telah disiangi. Malah tak jarang, kami mendapat kiriman makanan hasil kebun mereka sendiri.
Guru, pada hakekatnya mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pengasuh. Sama-sama mengasuh anak-anak yang dititipkan kepada mereka. Entah itu oleh yayasan, dinas, atau pemerintah. Menghormati guru sama halnya dengan menyayangi anak-anak itu sendiri. Karena di pundak merekalah, pengawasan dan pendidikan dibebankan.
Menghormati guru bukan hanya memenuhi hak-haknya semata, melainkan juga menempatkan mereka di tempat yang selayaknya. Tentu, sebagai manusia, guru pun tak luput dari kesalahan dan kealpaan. Oleh karena itu, mengingatkan mereka akan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik mutlak diperlukan.
Apabila ini dilakukan, saya yakin, tidak aka ada lagi siswa yang kehilangan gurunya saat jam pelajaran berlangsung. Tidak akan ada lagi guru yang datang ke sekolah hanya memberi latihan atau tugas. Tidak akan ada guru yang kerjaannya marah-marah dan menghukum. Menurut hemat saya, kondisi anak-anak bangsa saat ini, tak lain merupakan cerminan bagaimana guru diperlakukan.
Tabik.
Penulis: Apip Kurniadin
Posting Komentar untuk "Menghormati Guru, Kepada Pemangku Kebijakan"