Memanfaatkan Fanatisme
Hampir seluruh warga negara Indonesia beragama Islam. Dan hampir seluruhnya demikian setia pada ikatan primordial itu. Segala sesuatu akan laris bila ikon-ikon Islam (sebenarnya bagi saya itu ikon Arab) dijadikan sampul, merk dagang, atau kemasan. Ikon-ikon tersebut dimanfaatkan sebagai alat dongkrak penjualan.
Dasar pijakannya ialah bahwa karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam, dan mereka sangat alim, maka pasti perusahaan jasa trasportasi bernama Al-Salamati akan jauh lebih marketable daripada Mekar Raya.
Perusahaan jasa cuci pakaian bernama Al-Bersihi akan jauh lebih laku dibanding Laundrette. Sebuah lembaga bimbingan belajar bernama Al-Ilmi akan jadi pilihan utama daripada Smart Centre yang berbau ‘kafir’. Asuransi syariah akan lebih dipilih dibanding asuransi ‘liberal’. Hal itulah yang oleh Eko Prasetyo sorot dalam buku berjudul Astagfirullah, Islam Jangan Dijual.
Bukan hanya dalam dunia ekonomi, dunia politik pun tak lepas dari pemanfaatan ikon-ikon ini. Ahmad Suhelmi dalam bunga rampai berjudul Islam Menjadi Kuda Tunggangan pun menginsyafi hal tersebut.
Menurutnya, demikian banyak politikus yang sebenarnya tak terlalu Islami tapi menggunakan ikon-ikon Islam seperti peci, baju ‘takwa’ (seolah baju selain itu adalah baju ‘murtad’), ucapan ‘selamat idul fitri’ dan hal-hal lain dalam rangka mendongkrak elektabilitas partai ataupun dirinya.
Dan ternyata taktik ini sangat efektif. Tak jarang kita saksikan para politikus yang sebenarnya ‘blah-bloh’, tapi sukses dalam pemilu setelah sebelumnya ‘berkomunikasi’ dengan seorang ulama besar.
Lucunya, setelah sukses dalam pemilu lalu menempati posisi politik yang sangat strategis, ia justru kerap mengeluarkan kebijakan yang apriori terhadap kepentingan umat Islam.
Bagi Suhelmi, ini merupakan ‘penipuan’ yang sudah berlangsung berkali-kali, tapi tetap saja masyarakat Islam tak belajar dari keluguannya di masa lalu, sehingga di diakhir tulisannya, ia amat menyayangkan kepolosan umat Islam atas keterpedayaannya itu.
Terlepas dari ‘penipuannya’, dalam pandangan saya mereka adalah orang yang cerdas, atau lebih tepatnya cerdik. Ibarat memancing ikan, mereka tahu umpan macam apa yang menjadi kegemaran.
Mereka tahu bahwa paus (maksudnya ikan paus, bukan paus yang di Vatikan) tak suka umpan ‘bala-bala’, melainkan tikus. Sekalipun mereka tak menyukai tikus, tapi mereka mempergunakannya untuk mendapatkan hasil pancing yang ‘wow sekali’.
Berdasarkan fenomena dalam percaturan politik sebagaimana dijelaskan diatas, saya pikir ada benarnya juga sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa orang jahat memang jauh lebih kreatif.
Taktik, strategi, siasat atau apapun itu istilahnya hanyalah alat, yang baik buruknya bergantung pada oleh siapa ia digunakan. Istilah keren-nya ‘man behind the gun’.
Bila taktik itu dijalankan oleh orang yang memiliki tujuan ideal, maka hal itu takkan jadi soal. Eko Prasetyo tentu takkan mengucapkan “astagfirullah” untuk hal ini. Akan tetapi, bila orang yang mempergunakan taktik ini hanya bertujuan untuk menguntungkan diri atau kelompoknya, dengan kata lain hanya dipakai sebagai muslihat jahat, maka saya takkan ragu untuk mengucapkan “Innalillahi wainailaihirajiun”.
Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu, ketika ikon-ikon Islam ini digunakan sebagai taktik menjaring massa, sontak saya langsung mengucapkan “Alhamdulillah”. Pasalnya, ikon-ikon itu tidak digunakan sebagai muslihat jahat, melainkan untuk tujuan yang ideal.
Alkisah, di Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung, digelar acara diskusi mengenai buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi karangan mantan Presiden Soekarno.
Akan tetapi, panitia acara tersebut tidak mengemasnya dengan judul, “Diskusi Bersama”, “Seminar bla-bla bla” atau pun istilah-istilah lain yang non-Islami. Mereka tahu bahwa mayoritas masyarakat Bandung beragama Islam dan sangat kaffah terhadap keislamannya, terutama mereka yang berstatus mahasiswa yang tergabung dalam ormas Islam.
Oleh karena itulah, panitia acara tersebut memancing minat mereka untuk berpartisipasi dengan cara menamai acara tersebut dengan judul “Tadarus Di Bawah Bendera Revolusi”. Hasilnya, peserta “Tadarus” tersebut demikian membludak, masyarakat menjadi akrab dengan museum, minat baca pun menjadi terangsang secara signifikan.
Lain kali, pikir saya ketika itu, agar masyarakat peduli terhadap Citarum yang sudah sangat tercemar, perlu diselenggarakan acara “Jihad Melawan Sampah”.
Atau agar masyarakat doyan terhadap angkutan umum sehingga kemacetan bisa dikurangi, maka angkutan itu perlu diubah penyebutannya menjadi “Angkutan Berjamaah”, sehingga pahalanya berlipat-lipat dibanding “Angkutan Munfarid” alias pribadi.
Besok lusa, pikir saya pula, agar pembaca catatan saya semakin banyak, maka foto profil saya pun harus diganti dengan foto profil ketika saya menggunakan gamis dan berjenggot. Atau sampul akun facebook saya pun harus diganti dengan kaligrafi dan bukan justru sampul bergambar penjahat yang hendak menembak.
Akan tetapi, sayang, saya tak punya gamis. Jenggot pun masih belum tumbuh. Paling-paling ganti sampul, tapi pake gambar apa ya? Bingung…. Ah nanti sajalah dipikirkannya... Mie goreng memang lebih enak...
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Posting Komentar untuk "Memanfaatkan Fanatisme"