Melayu First
Pada 1960-an, Mahathir diwarisi sebuah negeri yang amat rapuh sepeninggal Inggris. Ketimpangan ekonomi berbalut perbedaan etnis dan agama, adalah realita di suatu negara bernama Malaysia.
Ia kesal pada Melayu-Muslim, etnis dan agama kalangan mayoritas, yang lemah dalam hal apapun, dibanding etnis dan penganut agama lain yang ada di sana, terutama Chinese-Non Muslim yang merupakan minoritas.

Mulanya Mahathir mengeluhkan kultur mereka, yang kalah giat, cerdas dan seterusnya dibanding "Sang Pesaing". Namun kemudian ia sadar, ketika kultur begitu sukar diubah, maka struktur bisa dikelola agar mereka tak selalu kalah.
Sehingga, ketika kemudian terpilih sebagai Perdana Menteri, ia beri ruang spesial bagi Muslim-Melayu, agar kelak bisa hidup setara secara ekonomi dgn etnis dan penganut agama lain di sana. Maka, selama puluhan tahun kebijakan "Melayu First" ia laksanakan. Dan berhasil.
Kini, posisi kedua etnis dan agama dalam kelas sosial relatif setara.
Ketika yang Chinese bisa duduk di puncak manajemen berbagai perusahaan, yang Melayu juga mampu. Ketika Non Muslim bisa hidup dengan bahagia, yang Muslim juga sama halnya.
Pada 2002 ia lengser dari kursi Perdana Menteri. Tapi Malaysia yang ia tinggalkan bukanlah Malaysia yang ikatan sosialnya rapuh seperti dulu lagi.
Problem ketimpangan ekonomi berbalut perbedaan etnisitas dan agama, telah ia ganti dengan kesetaraan/egalite bagi semua. Suatu prestasi besar yang bahkan belum mampu diraih oleh negeri pencetusnya sendiri, Prancis lewat Revolusi 1789.
Dan buku ini, 'Dilema Melayu', yang ia tulis sebelum jadi Perdana Menteri, yang sempat dilarang peredarannya di negeri tempat dirinya lahir karena dianggap rasialis dll, adalah panduan bagi pria berjuluk "Bung Karno Kecil" dalam mewujudkan visi ttg 'Melayu First'-nya tadi.
Penulis: Yoga Prayoga
Ia kesal pada Melayu-Muslim, etnis dan agama kalangan mayoritas, yang lemah dalam hal apapun, dibanding etnis dan penganut agama lain yang ada di sana, terutama Chinese-Non Muslim yang merupakan minoritas.

Mulanya Mahathir mengeluhkan kultur mereka, yang kalah giat, cerdas dan seterusnya dibanding "Sang Pesaing". Namun kemudian ia sadar, ketika kultur begitu sukar diubah, maka struktur bisa dikelola agar mereka tak selalu kalah.
Sehingga, ketika kemudian terpilih sebagai Perdana Menteri, ia beri ruang spesial bagi Muslim-Melayu, agar kelak bisa hidup setara secara ekonomi dgn etnis dan penganut agama lain di sana. Maka, selama puluhan tahun kebijakan "Melayu First" ia laksanakan. Dan berhasil.
Kini, posisi kedua etnis dan agama dalam kelas sosial relatif setara.
Ketika yang Chinese bisa duduk di puncak manajemen berbagai perusahaan, yang Melayu juga mampu. Ketika Non Muslim bisa hidup dengan bahagia, yang Muslim juga sama halnya.
Pada 2002 ia lengser dari kursi Perdana Menteri. Tapi Malaysia yang ia tinggalkan bukanlah Malaysia yang ikatan sosialnya rapuh seperti dulu lagi.
Problem ketimpangan ekonomi berbalut perbedaan etnisitas dan agama, telah ia ganti dengan kesetaraan/egalite bagi semua. Suatu prestasi besar yang bahkan belum mampu diraih oleh negeri pencetusnya sendiri, Prancis lewat Revolusi 1789.
Dan buku ini, 'Dilema Melayu', yang ia tulis sebelum jadi Perdana Menteri, yang sempat dilarang peredarannya di negeri tempat dirinya lahir karena dianggap rasialis dll, adalah panduan bagi pria berjuluk "Bung Karno Kecil" dalam mewujudkan visi ttg 'Melayu First'-nya tadi.
Penulis: Yoga Prayoga
Posting Komentar untuk "Melayu First"