Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEMBALIKAN dan Upaya Mencegah Brain Drain

Pendidikan adalah salah satu aspek yang menjadi indikator penilaian dalam Human Development Index (HDI) / Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selain pula kesehatan dan ekonomi. Setiap tahun, United Nations Development Programme (UNDP)  melakukan pengkuran atas capaian IPM berbagai negara, lalu menyusun capaian IPM itu mulai dari yang tertinggi hinga yang terendah. Oleh karenanya, menjadi tidak mengherankan bila dari tahun ke tahun, berbagai negara terus melakukan terobosan guna meningkatkan IPM-nya.

Salah satu dari sekian upaya Indonesia dalam meningkatkan IPM di bidang pendidikan adalah dengan berupaya meningkatkan taraf keterdidikan warga negaranya melalui skema subsidi pendidikan, baik berupa Bantuan Operasional Sekolah, (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Beasiswa Bidik Misi hingga Beasiswa Lembaga Penyedia Dana Pendidikan (LPDP) dan lain sebagainya.
upaya mencegah brain drain

Dari sekian langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dari masa ke masa, upaya itu lumayan membuahkan hasil. Dan dalam hal ini, para mahasiswa yang berasal dari wilayah Kandangwesi, adalah salah satu pihak yang menerimanya. Dengan BOS, KIP, Bidik Misi, LPDP dan lain-lain, meski tak secara signifikan, kini rasio penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi, setidaknya di wilayah Kandangwesi, meningkat.

Namun demikian, ada satu hal yang menjadi kekhawatiran berbagai negara setelah tugasnya untuk mencerdaskan anak bangsa, sebagian telah usai ditunaikan. Bukan hanya Indonesia, hal ini terjadi bagi Ghana dan lain sebagainya. Di dunia akademik, hal tersebut disebut Brain Drain.

Brain Drain adalah fenomena hilangnya potensi negara, baik berupa materil maupun immateril, dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang dimiliki olehnya sebagai akibat dari Human Capital Flight atau migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh SDM berkualitas itu ke negara lain.

Contoh paling miris dari fenomena Brain Drain ini adalah Ghana. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, pemerintah Ghana menghabiskan banyak biaya untuk pendidikan, khususnya dalam rangka ‘menciptakan’ dokter-dokter berkualitas asal Ghana.

Sayangnya, begitu dokter-dokter asal Ghana itu tersedia, mereka malah lebih memilih untuk berkarir dan bahkan berpindah kewarganegaraan ke Eropa dan Amerika, dengan motif utama yakni ekonomi. Padahal di negeri asalnya sendiri, dokter amat dibutuhkan guna mengatasi persoalan HIV/AIDS yang merajalela.

Ibarat menanam pohon, Ghana kehilangan banyak buah dari pohon itu ketika masa panen tiba. Alih-alih mendapat untung dari pohon yang ia tanam dan pelihara dengan biaya besar, Ghana malah merugi sebab ribuan buah dari pohon tersebut berpindah tangan menjadi milik tetangganya. Atau, bila diumpamakan seperti apa yang terjadi dalam dunia percintaan, Ghana hanya ikut menjaga jodoh orang lain. Sekian tahun berpacaran, pada ending-nya dibuat termenung menyaksikan sang mantan pacar mengucap janji suci bersama orang yang jauh lebih ia cintai. 

Hal miris yang terjadi dengan Ghana adalah pula yang dialami Indonesia, meski dalam intensitas yang lebih kecil. Namun demikian, hal itu berbeda dengan yang dialami oleh China dan Rusia. Alih-alih mengalami Brain Drain, pasca tahun 2000-an, mereka justru mengalami Brain Gain.

Apa itu Brain Gain?

Tentu adalah kebalikan / negasi dari Brain Drain. Bila Brain Drain bermakna hilangnya potensi SDM, Brain Gain justru berarti diperolehnya hasil, baik materil maupun immateril, oleh suatu negara, dari SDM berkulitas yang ia miliki.

Pada 1980-an, baik China maupun Rusia sama-sama mengalami Brain Drain. Bagi China, peristiwa Tiananmen 1989 adalah penyebab khususnya. Sedang bagi Rusia, sebab khusus itu berupa pecahnya Uni Soviet pada tahun yang sama. Oleh dua peristiwa tersebut, para pakar/ahli yang berasal dari kedua negara, baik yang sedang atau telah menimba ilmu di berbagai belahan dunia, menjadi enggan untuk kembali.

Namun demikian, setelah sekian upaya dilakukan, kini kedua negara tersebut meraih Brain Gain. Adapun upaya yang dimaksud antara lain:
  1. Meningkatkan kesejahteraan para pakar/ahli sehingga hijrah ke luar negeri menjadi bukan pilihan yang rasional lagi. Secara teknis, langkah yang ditempuh oleh negara guna mendukung upaya ini adalah dengan memperbaiki kondisi ekonomi.
  2. Memperbaiki iklim/ekosistem inovasi yang mendukung beragam upaya para pakar/ahli tersebut dalam mengembangkan keilmuan yang dimiliki olehnya bagi kemaslahatan banyak orang. Secara teknis, langkah yang ditempuh oleh negara untuk mendukung upaya ini adalah dengan menambah porsi biaya riset secara signifikan dari APBN.  
Selain hal-hal yang bersifat materialistis sebagaimana disebutkan di atas, tentu ada banyak faktor-faktor lain yang mendukung upaya Brain Gain ini. Nasionalisme, misalnya, juga menjadi ‘bumbu’ dalam fenomena Brain Gain yang dialami China dan Rusia. Di berbagai forum diaspora China dan Rusia, perkara ini ramai didengungkan.

Ke depan, bukan tidak mungkin bahwa akan lahir pakar / ahli dalam berbagai bidang dari wilayah Kandangwesi. Dan fenomena Brain Drain sebagaimana yang diderita oleh Ghana tentu bukanlah sesuatu yang ingin kita alami.

Oleh karenanya, untuk konteks Kandangwesi, KEMBALIKAN menjadi penting sebagai ‘pagar’ yang bisa digunakan agar Brain Drain bisa dicegah. Agar seluruh individu Kandangwesi yang berdiaspora ke berbagai belahan dunia, selalu punya alasan untuk kembali pulang ke rumahnya. Dan, ehm. Agar jalinan cinta yang telah dirajut sekian lama, hanya bisa terpisah bila kedua insan sudah tak lagi bernyawa. 



Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea

Penjelasan lengkap mengenai Brain Drain dapat dibaca melalui artikel berikut Fenomena Brain Drain di Indonesia 

Posting Komentar untuk "KEMBALIKAN dan Upaya Mencegah Brain Drain"