Hiburan Bagi Kemiskinan
Saya awali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Manakah yang lebih berbahagia,orang Eropa-Amerika yang kaya raya atau orang Asia-Afrika yang terbilang“berkembang” alias miskin? Mungkin anda akan menjawab,”Ya orang kaya dong”.
Saya bisa memperkirakan jawaban anda, karena memang jawaban itu telah menjadi paradigma umum, meskipun tanpa pembuktian ilmiah.
Akan tetapi, sebuah survei yang dilakukan oleh IPSOS, sebagaimana diberitakan dalam majalah Tempo, justru menunjukan hasil yang berkebalikan. Indonesia, yang dikategorikan negara berkembang ternyata merupakan negara yang mayoritas penduduknya paling bahagia sedunia.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Inggris yang dikategorikan maju, ternyata hanya bercokol di urutan 7 dan 10. Hasil survei ini mengingatkan saya pada ujaran seorang filsuf bernama Epicurus. Cuap dia suatu ketika,”Kekayaan tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan”.
Jika tidak setuju dengan hasil survey ini, maka anda akan saya tanya dengan sebuah pertanyaan. Tapi, anda tidak perlu menjawabnya.
Cukup dipikirkan, atau silahkan langsung anda coba rasakan. Mana yang lebih nikmat, makan makanan yang katanya paling lezat di restoran paling mahal sedunia tapi sendirian, atau makan ikan asin, sambal, plus tumis kangkung di sebuah gubuk pinggir sawah bersama orang yang anda cintai dan mencintai anda?
Barangkali pertanyaan di atas tak pernah terbersit di kepala anda, karena memang paradigma umum telah menutup jendela “kepenasaran”.
Kita sudah terlalu sering menerima segala hal tanpa pernah mengujinya kembali melalui penalaran yang independen.Sebagai contoh, akan saya paparkan sebuah anekdot dari India, berkisah tentang dua orang yang sedang memancing ikan.
Alkisah terdapat dua orang manusia yang sedang memancing ikan di pinggiran sungai Gangga. Akan tetapi, yang dilakukan keduanya sangatlah berbeda : Si A memancing dengan serius, sementara Si B malah memancing sambil tertidur. Karena merasa risih dengan perilaku temannya, Si A menegur…
A: Kalo loe mancing sambil tidur, mana bisa dapet ikan?
B: Emang kalo mancing sambil bangun bakalan gimana?
A: Ya loe bakal dapet banyak ikan
B: Terus kalo gue dapet banyak ikan gimana?
A: Tuh ikan bisa loe makan, sisanya loe jual, terus dapet banyak duit
B: Cius? Terus kalo gue dapet banyak duit gimana?
A: Bego! Ya loe bisa pake buat modal, bikin apa kek buat usaha, bikin perusahaan
B: Emm, terus kalo udah punya perusahaan?
A: Duit loe bakal banyak, tolol!
B: Terus kalo duit gue banyak?
A: Loe bisa beli pesawat terbang, rumah mewah, bini seksi, dan lain-lain.
B: Terus kalo udah gitu?
A: Loe gak bakal mancing lagi disini. Loe gak perlu pusing nyari makan. Dan yang paling penting, loe bakal tidur pulas sepuasnya
B: Lah, kan barusan juga gue udah tidur pulas. Kenapa loe bangunin?
Gimana,lucu kan ? (kalo gak lucu, berarti ada yang salah dengan otak saya). Menurut saya lucu (ceritanya maksa), tapi juga bisa mengajak kita untuk berpikir. Begitulah hebatnya canda orang sana.
Dari cerita di atas kita bisa belajar, bahwa ternyata, tujuan manusia untuk menjadi kaya sangatlah sederhana.
Kemungkinan besar berkutat pada hal-hal berikut : tidur pulas, bebas bulan madu kapan saja, menghabiskan waktu untuk bermain dengan anak tanpa seorang pun yang mengganggu, punya banyak teman alias diterima di berbagai macam pergaulan alias diakui eksistensinya sebagai manusia alias anu, alias itu dan lain-lain.
Bisakah hal-hal tersebut kita raih dengan jalan lain selain menjadi kaya? Silahkan anda jawab sendiri.
Maksud saya menulis catatan ini bukan berarti melarang anda untuk menjadi kaya. Saya hanya bermaksud mengajak anda untuk berpikir kembali tentang hubungan antara kekayaan dengan kebahagiaan.
Jangan sampai, setelah kita berusaha membanting tulang, palu, sapu dan lain-lain agar bisa menjadi kaya, sampai-sampai memaksa kita untuk pergi pagi pulang petang sehingga acuh kepada keluarga, justru hanya memberikan kepada kita tentang sesuatu yang disebut sebagai kebahagiaan semu atau fatamorgana.
Benar kata seorang guru,”Banyak manusia mencari cara agar bisa menjadi kaya. Tapi sangat sedikit yang berpikir tentang filsafat kekayaan”.
Paham akan filsafat kekayaan. Ya, barangkali, inilah alasan mengapa Muhammad SAW tetap hidup sederhana, bahkan pernah mengganjal perutnya dengan batu ketika lapar.
Padahal,ia adalah pemimpin umat Islam ketika itu. Atau mungkin ini juga alasan mengapa Yusuf AS terus-terusan berpuasa sekalipun menjabat sebagai “Menteri Urusan Logistik” di kerajaan Mesir.
Atau mungkin ini alasan dari Ali bin Abi Thalib yang lebih memilih untuk tetap hanya memakan roti tanpa selai sebelum mampu meningkatkan taraf hidup umatnya yang fakir.
Tiga orang ini tidak menjadikan kekayaan sebagai tujuan, melainkan hanya alat untuk meraih kebahagiaan, dengan cara membantu mereka yang tak seberuntung dirinya.
Penulis: Yoga Prayoga
Penulis: Yoga Prayoga
Posting Komentar untuk "Hiburan Bagi Kemiskinan"