Ekonomi Biru untuk Kandangwesi Baru
Penduduk dunia terus bertambah. Berdasarkan proyeksi para ahli, akan ada 9 miliar manusia di tahun 2030. Dan dengan demikian, maka krisis pangan, energi, perebutan lahan, sebagai konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk plus konsumerisme, makin mengancam, dan bahkan mulai menggejala sejak kini.
Di sisi lain, ketimpangan ekonomi, alias penguasaan modal antar individu dan antar negara sudah teramat tajam jurang pembedanya. Menurut hitungan teraktual yang dilansir Oxfam dan INFID dalam World Economic Forum pada 2018, dinyatakan bahwa 9 orang manusia terkaya sejagad hartanya sebanding dengan 4 miliar manusia termiskin, atau lebih dari 50% total populasi dunia.
Dua hal di atas merupakan paradoks.
Di satu sisi, demi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di bumi, kita mesti menahan, atau bahkan mengurangi jumlah populasi (Tujuan 1)
Akan tetapi, di sisi lain, mau tak mau, pikiran waras juga menuntut kita untuk mengupayakan perbaikan kesejahteraan bagi ratusan juta jiwa yang pendapatan per kapita per harinya bahkan kurang dari USD 2 (Tujuan 2).
Padahal, rasio paling dangkal sekalipun takkan menyangkal, bahwa pada gilirannya, perbaikan ekonomi bagi banyak manusia (Tujuan 2) adalah sebab bagi pertambahan laju pertumbuhan penduduk (Tujuan 1) serta pertambahan konsumsi atas komoditas, yang dengan pola produksi yang tak ramah lingkungan sebagaimana yang terjadi selama ini, berarti akan ‘memperpendek usia bumi’, sebab hal-hal tersebut secara otomatis akan membuat eksploitasi atas sumber daya alam makin menggila, dan dengan demikian makin memperburuk dampak perubahan iklim.
Sampai di sini, kita akan merasa serba salah. Dan mungkin saking telah kehilangan harapan, maka opsi yang kemudian dipilih adalah dengan tidak memikirkannya lebih lanjut. Dengan kata lain, sudahlah. Pasrah saja.
Ekonomi Biru (Blue Economy)
Namun beruntung, secercah harapan muncul bagi keberlanjutan hidup umat manusia, sejak Gunter Pauli memperkenalkan konsepnya mengenai Ekonomi Biru yang mencengangkan banyak orang.
Berbeda dengan celoteh iseng pihak-pihak tertentu yang menyarankan kita untuk kembali ke zaman batu, Pauli mengajak kita untuk terus maju melanjutkan peradaban dengan cara yang baru melalui Ekonomi Biru yang bertujuan menyelaraskan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia dengan visi pelestarian lingkungan serta pemerataan kesejahteraan.
Umumnya ketiga hal di atas tak bisa diperoleh oleh semua orang di satu tempat pada waktu yang sama. Di perkotaan, misalnya, barangkali urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi bisa diperoleh dengan mudah. Tiada satu hal pun yang tidak menjadi uang di sana.
Tapi, untuk bisa menikmati indahnya kicau burung di pagi hari, atau jernihnya air sungai untuk berenang, atau paling tidak, udara segar tanpa polusi, orang-orang kota mesti bepergian jauh ke desa di tengah hari libur yang terbatas dengan perjuangan yang tidak mudah melewati macet.
Sebaliknya, orang desa pun mesti beranjak pergi meninggalkan tempat asalnya demi pemenuhan kebutuhan ekonomi, meski di tempat semula ia telah memperoleh beragam kenikmatan yang disediakan oleh alam sebagaimana yang orang kota inginkan.
Jauh panggang dari api dengan hal tersebut, Ekonomi Biru menawarkan ketiganya sekaligus. Menjamin keamanan pangan (Food Security), menjamin kelestarian lingkungan hidup serta memaksimalkan pemerataan kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang.
Andai diterapkan secara menyeluruh dalam segala aspek di suatu wilayah, Kandangwesi misalnya, maka orang-orang di sana akan bisa memperoleh pekerjaan, dengan keuntungan yang tak sedikit, sambil tetap bisa menikmati jernihnya Cirompang sebagai tempat memancing dan berenang, menatap indahnya Puncak Guha tanpa secuil pun polutan yang nampak atau terasa, baik yang berbentuk cair, padat maupun gas, serta tentunya, tak usah khawatir atas ancaman tindak kriminal atau potensi konflik sebagai buah dari soliditas sosial yang rapuh, sebab kekayaan antar individu, dalam alam Ekonomi Biru, akan relatif setara tanpa menimbulkan rasa cemburu.
Beragam guideline bagi upaya pewujudan beserta contoh penerapan atas hal itu Pauli tulis dalam buku berjudul Blue Economy (10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs) yang terbit pada 2012. Pauli menawarkan beberapa prinsip yang menjadi kunci dari Ekonomi Biru ini, yakni :
1. Pro Planet
Sebuah komoditas/produk mesti diolah hingga tak menyisakan limbah sedikit pun. Dalam Ekonomi Biru, berlaku sebuah ketentuan bahwa limbah dari suatu produk harus menjadi bahan baku bagi produk lain.
Pauli mencontohkan hal ini dalam pemanfaatan limbah kopi. Ia mengatakan,”Dari segelas kopi yang kita minum, hanya sekitar beberapa persen saja yang kita nikmati, yakni saripatinya yang mengubah rasa dan aroma. Namun ampasnya, kita buang begitu saja. Padahal ampas kopi ini adalah medium yang baik bagi budidaya jamur tiram”.
Kemudian terkait pertambangan, Pauli kini telah berhasil memanfaatkan bebatuan limbah tambang menjadi kertas atau lazim disebut Stone Paper. Dalam dunia perikanan, Pauli berhasil mengembangkan sistem Akuakultur, yakni budidaya ikan lepas pantai tanpa pakan yang berasal dari pabrik, melainkan dari budidaya alga di sekitar lokasi akuakultur itu sendiri, dengan perolehan hasil yang ratusan kali lipat dibanding cara konvensional.
2. Pro People / Poor
Sebuah produk Ekonomi Biru harus bersifat padat karya dan inklusif , bisa dilakukan oleh siapa saja, dari kalangan ekonomi mana pun. Berbeda dengan Ekonomi Hijau yang bersifat eksklusif dalam arti hanya bisa dilakukan oleh pakar/ahli serta memerlukan modal besar, Ekonomi Biru justru sebaliknya.
Dengan terlibatnya banyak orang dari kalangan mana pun, Pauli berharap bahwa kue ekonomi kelak bisa menyebar, bukan justru menumpuk di pihak yang kuat modal.
3. Pro Profit
Produksi atas beragam hal mesti bersifat siklikal / circular / beruntun / berjenjang hingga selain tak menyisakan limbah, juga menghasilkan beragam keuntungan di setiap jengkal prosesnya.
Jika biasanya kita mendengar istilah ”Reduce (Kurangi Konsumsi), Reuse (Gunakan Kembali), and Recycle (Lakukan olah limbah)”, maka Ekonomi Biru menyarankan kita untuk melakukan Up-Cycle. Artinya, limbah yang diolah mesti menghasilkan keuntungan secara berlipat ganda dengan upaya pengolahannya menjadi produk baru yang memiliki nilai tambah (Added Value), bahkan melebihi produk utama yang diproduksi.
Untuk perkara ini, maka Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) mesti ikut dilibatkan sebagai salah satu instrumen guna membantu upaya Up-Cycling tersebut. Contoh paling mudah atas hal ini adalah pemanfaatan kotoran hewan menjadi Biogas, kemudian pemanfaatan Bio-Slurry (ampas biogas) bagi tumbuh kembang Lemna sebagai pakan bagi ternak penghasil bahan baku biogas itu sendiri.
Dengan demikian, seorang peternak sapi, misalnya, selain akan memperoleh kentungan dari penjualan daging sapinya kelak, ia juga akan memperoleh keuntungan lain berupa bahan bakar untuk memasak, listrik serta nutrisi bergizi bagi percepatan tumbuh kembang ternaknya itu.
Sekian tahun setelah Pauli muncul dengan Ekonomi Biru, pada 2015, puluhan negara sepakat menandatanagi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) sebagai sebuah komitmen bersama untuk bergerak menuju pembangunan dunia yang bersanding serasi dengan pelestarian lingkungan.
Kemudian masih di tahun yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) / Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2015-2030 sebagai proyek lanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) / Tujuan Pembangunan Milenium 2000-2015.
Jika MDGs hanya memuat 7 (tujuh) butir target yang tidak secara tegas menjadikan agenda keberlanjutan lingkungan hidup dan pemerataan ekonomi sebagai prioritasnya, maka SDGs yang terdiri dari 17 (tujuh belas) butir target memuat kedua agenda tersebut secara jelas.
Kini, perlahan namun pasti, dunia menuju perbaikan dalam segala dimensinya. Dan sebagaimana yang kerap dilontarkan dalam beragam senda gurau, yang terpenting bukan bertumpuknya konsep, kajian, rencana dan lain sebagainya, melainkan implementasi atas semua itu. Dalam hal ini, maka sebagaimana yang sering terlontar dalam beragam senda gurau pula, meski berpikir secara global, satu-satunya kunci bagi implementasi beragam gagasan tersebut adalah dengan bertindak secara lokal (Think Globally, Act Locally).
Oleh karenanya, ke depan KEMBALIKAN akan selalu berupaya mempromosikan gagasan, dan bahkan memberikan pengaruh pada proses pengambilan kebijakan pembangunan di Garut Selatan, khususnya wilayah Kandangwesi, agar selalu selaras dengan tiga agenda utama seperti apa yang menjadi cita-cita dari segala bangsa selama ini, yakni :
Sebesar mungkin keuntungan ekonomi bagi sebanyak mungkin orang demi sebaik mungkin dampak bagi lingkungan hidup (Profit, People and Planet).
Demi seluruh upaya itu, kami memohon do’a dan dukungan Anda semua, dalam rangka membangun Kandangwesi baru dengan Ekonomi Biru.
Mari berkolaborasi dengan ikut serta mendukung pembangunan kawasan Agro-Techno Park Kandangwesi. Baca selengkapnya di : #BangunKandangwesi
Penulis : Yoga Prayoga, yang selalu mengharu biru dalam kisah asmara yang tak menentu. Sedang mencari jodoh melalui Instagram @prayoga.id.ea
revolusi biru.
BalasHapusRevolusi Biru lebih menekankan pembaharuan beragam aktivitas ekonomi di sektor kelautan sebagai ganti dan/atau pelengkap atas Revolusi HIjau yang lokusnya di daratan.
BalasHapusEkonomi Biru tidak sama dgn Revolusi Biru. Ia merupakan pembaharuan / kritik dari Gunter Pauli atas Ekonomi Hijau yg cenderung mahal dan karenanya bersifat eksklusif.
Biru yg dimaksud oleh Pauli berkaiatan dgn Langit, Samudera dan bumi /daratan pada umumnya yg nampak biru saat dipandang dari luar angkasa.