Berhenti Menutup Mata, Mulailah Berpolitik
Sering saya mendengar ungkapan,”Ah, politik tahi kucing”, “Urang mah embung popolitikan”, “Kumpulan macam-macam penipuan itu. Beta tidak suka”, “Politik? Nipu jelema leutik”, dan sebagainya dan sebagainya.
Mereka yang mengatakan itu, biasanya adalah mereka yang kecewa terhadap perilaku para politikus yang mereka saksikan hari ini di berbagai media massa, yang dalam pandangan mereka sangat layak untuk tidak dijadikan teladan.
Atau bisa jadi bahwa mereka yang mengatakan itu biasanya masih merupakan anak alay yang lebih excited pada gedget paling anyar. Pokoknya bagi mereka, politic is a bullshit and so, I dont care!
Saya sendiri, pernah mengalami masa-masa itu. Masa ketika saya sangat benci terhadap apa yang berkaitan dengan politik. Pun terhadap turunannya : pemerintahan.
Saking bencinya, bahkan seperti John Lennon dalam lagu berjudul Imagine, saya pernah mengimajinasikan sebuah masyarakat tanpa negara, karena dalam pandangan saya ketika itu, pemerintahan sungguh sama sekali tak berguna.
Akan tetapi kemudian, pandangan Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu jahat, egois dan lain-lain, akhirnya menyadarkan saya bahwa memang kita butuh negara untuk “mengelola kejahatan” itu.
Oh ya, terkhusus untuk politik, saya hendak memperbincangkannya secara agak panjang. Isi tulisan selanjutnya, bagi orang-orang yang apolitis, barangkali terkesan sebagai sebuah alasan “kemurtadan” dari seorang yang sebelumnya tak pernah absen untuk golput.
Namun demikian, saya harap pembaca tidak lantas menghakimi saya sebagai seorang yang tak konsisten, melainkan hanya memperbarui pola pikir setelah mendapatkan argumen yang dirasa lebih rasional. Lantas, argumen rasional mana yang saya maksud? Alasan “kemurtadan” macam apa yang hendak saya bincangkan? Semua itu akan saya sampaikan di paragraf selanjutnya. Mari...
Seminggu yang lalu, ketika sedang shopping di Gramedia, saya tersentak melihat sebuah buku berjudul Politik Itu Suci. Memang benar bahwa secara spontan saya menggumamkan kata,”Bulshit!” ketika itu.
Namun sepulang dari sana, saya terus memikirkannya, lalu penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut tentang hakikat dari politik. Dan kini, setelah proses pencarian itu, tanpa berat hati harus saya katakan bahwa memang politik itu suci. Apa sebab? Kita harus memulainya dari Vilfredo Pareto.
Ia terlahir dengan nama lengkap Vilfredo Feredrigo Marchese Pareto, seorang pemikir dari Itali. Sempat tertarik pada teknik sipil dan ekonomi sebelum akhirnya tergila-gila oleh filsafat dan sosiologi.
Dalam bukunya yang berjudul Trattato Di Sociologia Generale, ia memperkenalkan sebuah teori yang dewasa ini dikenal dengan nama Teori Elite.
Menurutnya, semua bangsa/ masyarakat pasti terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan elit atau yang berkuasa dan golongan massa atau yang dikuasai_mirip pandangan Karl Marx mengenai pertentangan antara borjuis dan proletar, serta Dahrendorf mengenai kelompok superondinasi dan sub-ordinasi.
Golongan elit biasanya hanya sekelompok minoritas dominan yang memiliki akses terbuka bagi segala pembuatan kebijakan. Sementara itu, golongan massa biasanya merupakan sekelompok mayoritas yang diatur oleh golongan elit.
Dengan strukur sosial seperti ini, maka menjadi suatu implikasi logis apabila nasib negara hanya ditentukan oleh beberapa orang saja, yang tiada lain adalah golongan elit tersebut.
Masih menurut Pareto, karena posisinya yang sangat nyaman, golongan elit cenderung untuk mempertahankan status quo alias keadaan tetap agar tak terpental ke dalam jurang "neraka" golongan massa melalui berbagai cara, terutama dengan membuat kebijakan yang bisa mencegah perubahan.
Dari pandangan Pareto, bisa kita tarik kesimpulan bahwa sebuah negara hanya digerakkan oleh sekelompok kecil orang yang disebut golongan elit, yang dengan kekuasaannya akan cenderung mempertahankan status quo, selalu, sepanjang waktu.
Bila sudah seperti ini, maka golongan massa alias golongan yang dikuasai hanya akan jadi objek dari golongan elit. Selamanya, dengan berbagai cara, nasib buruk mereka akan “dilestarikan” oleh kebijakan-kebijakan “merdu” yang, seperti disebut oleh Gramsci, sejatinya bertujuan untuk menghegemoni.
Pandangan Pareto inilah yang membuat saya “murtad” dari pilihan golput, sehingga tanpa berat hati tega mengatakan bahwa politik itu suci. Kekekecewaan saya terhadap kinerja pemerintah bukan berarti bahwa keberadaan pemerintah menjadi tidak penting sama sekali.
Kekecewaan saya terhadap perilaku anggota DPR juga bukan berarti mengharuskan DPR untuk dibubarkan. Semua itu, murni dikarenakan bahwa kinerja pemerintahan yang kini ada bukanlah kinerja pemerintahan yang semestinya (berdasarkan ukuran kepuasan yang bersifat universal), begitu pula dengan DPR pun induk dari semua itu, politik.
Selain itu, karena gerak sebuah negara ada di tangan golongan elit, yang mana kepentingannya, terutama demi mempertahankan status quo, dan bukan kebaikan bagi semua orang, diwujudkan dalam bentuk kebijakan negara, maka menjadi benar apa yang dikatakan Budiman Sudjatmiko bahwa bila rakyat apatis terhadap politik, itu sama saja membiarkan parlemen/pemerintahan diisi oleh para badut.
Oleh karena itu, bersikap tak acuh terhadap politik, tanpa sadar sama saja dengan menyerahkan diri pada risiko ketertindasan atau dengan kata lain, tak mempedulikan diri sendiri, sebab mustahil apabila kehidupan seorang manusia terlepas dari implikasi politik di tempat mana ia berpijak, kecuali ia menjadi penghuni alam jin yang tak mengenal DPR.
Kini, saya berasumsi bahwa Anda telah menemukan pola pikir yang sama dengan saya, terkait urgensi kesadaran masyarakat akan politik.
Oleh karena itu, tentu kita setuju bahwa bila politik dijalankan sebagaimana mestinya sehingga tidak menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan bagi segelintir orang atau pun kelompok, maka politik akan menjadi pedang suci demi melawan ketertindasan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Pandangan ini berpijak pada filosifi yang menyatakan bahwa politik hanyalah alat, yang baik tidaknya hasil kerja alat itu, sangat tergantung pada oleh siapa ia digunakan.
Selanjutnya, setelah Anda “murtad”, eh maksudnya sepakat akan urgensi kesadaran berpolitik, kini yang menjadi pertanyaan kita, mengingat masih banyak masyarakat yang apolitis, adalah bagaimana cara agar pemahaman ini tertular kepada semua orang?
Jawabnya, menurut banyak kalangan, adalah dengan pendidikan politik. Dan untuk perkara ini, saya rasa guru PKN memiliki tanggungjawab besar, selain hanya menghukum siswa yang berambut gondrong.
Ya, guru PKN wajib memberikan penyadaran kepada generasi muda kita agar mau berpartisipasi dalam politik, dengan catatan bahwa partisipasi itu dilandasi oleh kebijaksanaan pun akal sehat, dan bukan hanya oleh serangan fajar.
Namun demikian, tentu tanggungjawab ini bukanlah tanggungjawab tunggal guru PKN. Ada banyak, atau setidaknya dua pihak yang patut ikut dalam mengemban tanggungjawab itu. Pihak pertama yang saya maksud adalah partai politik yang (semoga saja) diisi oleh orang-orang bijak.
Selanjutnya, pihak kedua yang saya maksud adalah kelas menengah, yang biasanya terdiri dari para cendekiawan, pemuka agama, dan lain-lain. Lantas, mengapa partai politik dan kelas menengah?
Jawabnya, terkhusus untuk partai politik, ya memang karena itulah salah satu fungsi keberadaan mereka. Partai politik wajib mendidik masyarakat agar tahu implikasi dari memilih partai itu yang berlandaskan ide itu, pun implikasi dari memilih partai ini yang berlandaskan ide ini.
Jangan sampai mereka hanya sibuk ketika menjelang Pemilihan Umum dengan menyebar pamflet dan spanduk kadernya, yang bahkan seolah datang sekonyong-konyong dalam masa kampanye saja.
Kemudian, terkhusus untuk kelas menengah, mari kita gunakan pendekatan psikologis. Dalam teori Hierarkhi Kebutuhan yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow, kita mengenal adanya lima tingkatan kebutuhan, dimana jenis kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi tidak akan dirasa perlu apabila jenis kebutuhan di tingkat yang lebih rendah belum terpenuhi.
Adapun kelima tingkat kebutuhan itu, bila diurutkan dari yang terendah menuju yang tertinggi adalah sebagai berikut : Kebutuhan fisiologis (bernafas, makan, minum, dan sebagainya), kebutuhan akan rasa aman (bebas dari tekanan/intimidasi), kebutuhan akan kasih sayang (disayangi maupun menyayangi), kebutuhan prestise (harga diri/pencapaian), dan yang terakhir, aktualisasi.
Dari teori itu, kita akan mafhum apabila pedagang sayur tidak tertarik untuk memperbincangkan permasalahan korupsi daging sapi, karena yang lebih ia prioritaskan adalah menjual sayur sebanyak mungkin, dapat untung besar sehingga bisa makanq, menyekolahkan anak dan seterusnya.
Berkebalikan dengan itu, kaum cendekiawan Cs biasanya adalah orang yang kondisi kehidupannya terbilang baik, ia dihormati oleh khalayak ramai, keluarganya harmonis, aman dari tagihan hutang, serta yang terpenting, ia tak perlu pusing mempertanyakan,”Besok mau makan apa?”, karena kondisi perekonomiannya sudah gemah ripah loh jinawi.
Oleh karena itu, ia punya banyak waktu untuk mengaktualisasikan diri, ia akan selalu sempat dan pasti tertarik untuk menyimak, memperdebatkan, hingga menyebarluaskan pandangannya terkait isu perpolitikan.
Singkat kata, ia sangat bisa untuk diperbantukan guna meringankan beban guru PKN dalam menyadarkan masyarakat mengenai urgensi ber(partisipasi dalam)politik.
Contoh nyata dari besarnya peran kelas menengah bagi tergugahnya kesadaran masyarakat tentang dimensi politik yang menyelubungi kehidupan, dapat kita saksikan dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Berkat politik Etis yang diberikan oleh pihak kolonial Belanda, pemuda-pemuda pribumi Nusantara kemudian bertransformasi menjadi manusia yang terdidik dan tercerahkan (meski tak seluruhnya).
Beranjak dari kenyataan bahwa bangsanya dihegemoni oleh kepentingan elit, dalam konteks ini pihak kolonial, mereka membentuk berbagai macam organisasi, yang oleh guru sejarah kerap disebut Indische Partij, Sarekat Islam, Muhammadiyyah, ISDV, PNI, dan lain-lain, bertujuan menghimpun sebanyak-banyaknya pribumi agar tergugah kesadarannya dari ketertindasan yang sempat disimpulkan dengan satu kalimat bahwa "Ini takdir".
Ya, mereka menolak itu, lalu mengarahtujukan bahwa segala ketertindasan yang mereka alami, bukanlah murni cobaan Tuhan, melainkan kebijakan busuk dari kaum elit, pihak kolonial, plus kaum ningrat yang berkolaborasi dengannya.
Karena penindasan itu berasal dari kesewenang-wenangan manusia, maka mereka yakin bahwa hal ini bisa diubah oleh manusia pula, oleh mereka sendiri, golongan massa yang sadar akan ketertindasannya itu.
Akhirnya, hanya ini yang bisa saya sampaikan. Tulisan ini hanyalah pandangan saya yang masih mungkin untuk berubah, seiring dengan dialektika yang terus saya jalani.
Intinya, sekalipun kecewa dengan tingkah para politikus hari ini, saya tak berharap Anda apatis terhadap politik. Mereka banyak menyeleweng, ya itu argumen faktual. Akan tetapi, bukankah ketika suatu penyelewengan terjadi kita wajib meluruskannya, baik dengan tangan (kekuasaan), lisan (ilmu), pun juga dengan yang selemah-lemahnya : hati (do'a)?
Kurang dari satu tahun ke depan, kita akan bertemu dengan momentum perubahan, Pemilihan Umum 2019. Sampai hari ini, di bawah kekecewaan besar akan kinerja pemerintah, saya masih menyimpan harapan besar agar orang-orang yang terpilih nanti tidak menjadi pemerintah, meminjam istilah Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir, melainkan justru menjadi pengurus.
Sebab menurutnya, ada pembeda besar antara tukang memerintah dengan tukang mengurus. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan hak politik kita, mari kita pilah para calon pemimpin secara bijak, agar kelak kita diurus, dan bukan hanya diperintah.
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Penulis : Yoga Prayoga. Dapat ditemukan di Instagram @prayoga.id.ea
Posting Komentar untuk "Berhenti Menutup Mata, Mulailah Berpolitik"